Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Story of MALANG

Kongres Himnas PKn 2011.

Story of Bandung

Kongres Himnas PKn 2012.

Story of Pandeglang

LK II HMI Cab. Pandeglang.

Aksi Kamisan

SeHAMA Angkatan IV 2012.

Debat Dengan Raja Minyak

Arya Duta Hotel - Medan 2011.

Kamis, 31 Januari 2013

Ulos Buat Dahlan dan Pernyataan Effendi (Opini Sumut Pos)

Salah satu calon gubernur Sumatera Utara, Effendi Simbolon menuai banyak kecaman khusunya dari masyarakat dan tokoh adat batak. Pasalnya beliau mengkritik pemberian tongkat Tunggal Panaluan sebagai simbol kepercayaan tokoh adat Batak di Tapanuli kepada Dahlan Iskan yang dianggap memiliki kontribusi nyata terhadap pembangunan bandara Silangit yang rencananya akan dijadikan bandara internasional. 
Oleh: Eka Azwin Lubis
Selain diberikan tongkat Tunggal Panaluan, Dahlan juga disematkan ulos bulang-bulang pertanda bahwa beliau memiliki peran yang signifikan atas kemajuan tanah batak setelah memenuhi beberapa kriteria filosofis adat batak yakni hagabeon, hamoraon, dan hasangapon.
Namun hasil dari kesepakatan tokoh adat batak khususnya di Bonapasogit tersebut justru dikritik oleh Effendi Simbolon yang menyatakan bahwa Dahlan Iskan sangat tidak pantas untuk mendapatkan penghormatan tersebut, karena dirinya hanya orang gila.
Hal inilah yang kemudian mendapat respon yang begitu keras oleh masyarakat karena Effendi dinilai tidak pantas untuk mengeluarkan pernyataan seperti itu, apalagi statusnya yang saat ini merupakan calon gubernur Sumatera Utara.
TB. Silalahi selaku tokoh politik nasional dan berdarah Batak mengatakan bahwa Effendi tidak layak untuk menjadi pemimpin karena tidak pantas seorang pemimpin menebar kebencian karena sentimen pribadi. Selain itu beberapa tokoh adat batak mengecam keras pernyataan Effendi tersebut yang dianggap sebagai pelecehan kepada tokoh batak yang memberikan penghormatan kepada Dahlan Iskan. Mereka menilai pemberian penghormatan tersebut dilakukan bukan dengan cara yang asal-asalan, melainkan atas musyawarah bersama yang mengahasilkan pemufakatan diantara sesama tokoh adat batak.
Kekeliruan pernyataan yang dilakukan oleh Effendi ini merupakan satu preseden buruk bagi dirinya yang ingin mendapat dukungan dari masyarakat sumut sebagai gubernur mendatang. Suka atau tidak suka, Effendi harus berani meminta maaf kepada Dahlan Iskan dan masyarakat serta tokoh adat batak khusunya atas pernyataan yang pernah ia keluarkan sebelumnya.
Dengan hal ini mungkin kepercayaan masyarakat atas dirinya akan kembali muncul seiring memudarnya popularitas beliau khusunya di mata warga batak yang ada di Tapanuli Utara.
Ucapan Yang Jadi Boomerang
Effendi Simbolon bukanlah orang pertama yang tersandung masalah karena pernyataannya yang keliru kepada khalayak ramai. Sebelumnya kita juga sempat dikejutkan dengan pernyataan Rhoma Irama yang mendeskriditkan pasangan Jokowi dan Basuki Tjahya Purnama ( Ahok ) saat mereka bertarung dalam memperebutkan posisi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Namun saat dimintai klarifikasinya, Rhoma mengaku hanya mengatakan apa yang menjadi kewajibannya sebagai seorang pemuka agama.
Belakangan kita juga dikejutkan dengan pernyataan kontroversi yang dikeluarkan oleh seorang politisi Partai Demokrat Sutan Bhatugana yang dinilai telah melecehkan mantan Presiden RI Abdurahman Wahid (Gus Dur).
Kejadian tersebut bermula saat Sutan menghadiri Forum Dialog Kenegaraan DPD bertema “Pembubaran BP Migas untuk Kemakmuran Rakyat?” pada 21 November 2012 lalu.
Ketika itu ada seorang aktivis Gerakan Indonesia Bersih (GIB), Adhie Massardi yang menuding bahwa Komisi VII telah mengadakan rapat untuk memperkuat posisi BP Migas. Dengan seketika Sutan mengeluarkan argument untuk membalas, yang dalam pernyataanya ada kalimat “Jika anda mengatakan Gus Dur itu bersih, kenapa dia diturunkan di tengah jalan”.
Hal inilah yang kemudian memperuncing suasana hingga menuai protes dari pihak PBNU yang menganggap Sutan telah melecehkan Gus Dur. Saat dikonfirmasi mengenai hal tersebut, Sutan membenarkannya dan mangatakan bahwa ada kata-kata yang ditambahkan padahal dia tidak mengatakannya.
Hingga saat ini pernyataan seorang tokoh baik itu pemimpin negara, pemimpin agama, atau hanya sekedar selebritis, banyak menjadi inspiratif bagi para penggemarnya. Sehingga seorang public figure sangat dituntut kecerdasan dan kedewasaan berfikirnya dalam mengeluarkan setiap pernyataan karena akan menjadi konsumsi publik.
Mereka harusnya sadar bahwa pernyataan yang mereka keluarkan ibarat pedang bermata dua. Satu sisi pernyataan tersebut dapat menjadi inspirasi bagi banyak orang, namun di sisi yang lain kata-kata mereka bisa saja ditangkap sebagai sebuah pernyataan kontroversi oleh publik.
Apalagi saat ini sangat banyak tokoh nasional yang mencuat namanya karena pernyataan nyelenehnya yang mengundang protes dari berbagai kalangan yang merasa keberatan dengan apa yang meraka utarakan.
Bukankan inilah sikap yang harusnya dipahami secara cerdas oleh para public figure termasuk tokoh politik dengan makna yang berbeda-beda oleh para pendengarnya. Alih-alih ingin membengkokan sejarah dengan pernyataan-pernyataan hebat layaknya beberapa tokoh diatas, mareka pasti akan dikenang dengan pernyataan nyelehnya yang telah melukai beberapa kalangan.
Tokoh Besar dengan Pernyataan Cerdas
Mahatma Gandhi pernah mengatakan bahwa “ Jika kau diperangi oleh musuhmu, maka balas dia dengan cinta”. Pernyataan sangat bijak dari seorang pemimpin yang mendapat banyak kritikan dari para pesaing politiknya saat itu.
Seperti yang dijelakan diatas bahwa tidak semua pernyataan hebat tersebut muncul secara konseptual, ada juga yang muncul dengan spontan dari seorang pemimpin dalam menjawab tuntutan rakyatnya yang kemudian justru mendunia karena begitu indah, seperti mantan presiden Amerika Serikan Franklin Delano Roosevelt yang pada saat itu menerima banyak tuntutan dari rakyatnya sehingga beliau mengatakan” Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepada anda, tapi pertanyakanlah apa yang telah anda berikan kepada negara”.
Dari pernyataan tersebut, tidak hanya masyarakat Amerika Serikat saja yang tergugah hatinya, namun masyarakat negara lain juga tersentuh dengan pernyataan tersebut sehingga ingin berbuat apapun demi negara yang mereka cintai.
Tidak kalah dengan pemimpin negara lain, bapak bangsa Indonesia sekaligus presiden pertama kita Ir. Soekarno, selain dikenal dengan jiwa kharismatiknya, beliau juga dikenal dengan pernyataan-pernyataanya yang membangun. Manakala beliau ditanya tentang konsepnya dalam membawa Indonesia menuju bangsa yang maju dan berwibawa dimata dunia, dengan seketika beliau menjawab “Berikan aku sepuluh pemuda, maka akan ku guncang dunia”.
Dengan pernyataan tersebut berarti Soekarno begitu yakin bahwa kemartabatan dan kejayaan Indonesia ada ditangan pemudanya yang merupakan tonggak masa depan bangsa.
Pernyataan tersebut hingga kini masih santer terdengar mengiringi semangat pemuda dalam menjalankan mengeluarkan setiap pernyataan karena akan diterjemahkan kehidupannya yang dibebani tanggung jawab moral sebagai penentu arah bangsa.

Penulis: Kabid PTKP HMI FIS dan Staf Pusham Unimed

Jumat, 25 Januari 2013

Jangan Kebiri Hak Perempuan (Opini Analisa)

 Oleh: Eka Azwin Lubis. 
Indonesia hingga saat ini belum memiliki Undang-Undang yang mengatur tentang perlindungan perempuan. Meskipun saat ini sudah ada UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, namun bukan berarti segala hal yang menyangkut hak kodrati perempuan dilindungi secara hukum. Begitu banyak permasalahan sosial yang menjadikan perempuan sebagai korbannya namun tidak mendapat perhatian yang serius dari pemerintah karena belum adanya UU yang secara khusus mengatur tentang perlindungan perempuan. Inilah yang menjadi akar penyebab begitu rentannya kaum Hawa untuk mendapat perlakuan diskriminasi disegala lini kehidupan, mulai dari dalam rumah tangga, dunia pekerjaan, hingga kondisi sosial yang selalu menempatkan perempuan pada situasi yang merugi.
Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang kerap dialami oleh perempuan, belum lagi penyiksaan tenaga kerja wanita terutama yang berada diluar negeri, hingga perlakuan-perlakuan tidak pantas yang mereka terima ditempat-tempat umum maupun didalam angkutan umum.

Pemerkosaan ditempat-tempat umum maupun di angkutan umum kini menjadi momok tersendiri bagi perempuan Indonesia karena semakin hari hal tersebut semakin sering terjadi. Sementara para pelaku praktis tidak mendapat hukuman yang setimpal atas perbuatannya yang menghancurkan harkat dan martabat perempuan.

Apabila hak-hak perempuan Indonesia ini terus diabaikan maka dampak yang paling urgen adalah buruknya kualitas sumber daya manusia Indonesia kedepan, karena perempuan lah yang menjadi sumber peradaban di dunia ini. Oleh sebab itu pemerintah harus membuat satu aturan baku demi terwujudnya jaminan hukum tentang perlindungan perempuan sehingga setiap perempuan Indonesia mendapat perlindungan atas haknya untuk menentukan jalan yang terbaik dalam kehidupannya. Hal ini harus segera diimplementasikan agar perempuan Indonesia tidak lagi merasa menjadi kaum nomor dua.

Kita dapat saksikan saat ini begitu banyak kasus-kasus yang menimpa perempuan Indonesia. Padahal mereka seharusnya mendapat perlakuan ekstra karena perempuan identik lebih lemah dibandingkan laki-laki. Namun perempuan yang seyogyanya merupakan bagian terpenting dalam membentuk karakter bangsa dimasa depan selalu dibenturkan dengan masalah-masalah berat dalam kehidupan mereka. Padahal perempuan-perempuan inilah sumber dari tongkat estafet kehidupan berbangsa.

Hal inilah yang sebenarnya harus mendapat perhatian khusus, tidak hanya oleh pihak pemerintahan tetapi juga semua elemen masyarakat yang memiliki kewajiban kontrol sosial terhadap perlindungan perempuan.

Perempuan Kelompok Rentan Pelanggaran HAM

Untuk melindungi hak-hak perempuan yang kerap terancam karena mereka merupakan salah satu kelompok rentan pelanggaran HAM, Indonesia membuat Komisi Nasional Perempuan Indonesia yang tentunya diharapkan menjadi wadah perlindungan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dialami oleh perempuan Indonesia. Sebab saat ini menurut Komisi Nasional Perempuan telah tercatat sedikitnya terjadi 119.107 kasus kekerasan yang menimpa perempuan selama tahun 2012 dimana 96 persennya merupakan kekerasan domestik yang artinya pelaku kekerasan adalah orang terdekat korban. Entah itu suami, pacar, keluarga, atau saudaranya, kata ketua komnas perempuan Masruchah (Koran Tempo)

Masih jelas betul dalam ingatan kita bagaimana kasus yang menimpa RI, seorang bocah perempuan kelas 5 SD yang meninggal akibat pemerkosaan yang dialaminya sehingga mengalami pendarahan dibagian kelamin hingga keradang otak. Sungguh satu perbuatan bengis yang tidak bisa ditolerir karena selain mengabaikan harkat dan martabat perempuan, pelaku juga telah mengabaikan hak untuk hidup seorang anak yang masih duduk di bangku kelas 5 SD.

Semoga kejadian yang menimpa RI menjadi lembaran terakhir dalam kisah kekerasan yang dialami oleh perempuan Indonesia baik yang ada didalam maupun luar negeri. Pemerintah harus bertindak lebih responsive dalam menangani kasus-kasus yang menimpa kaum Hawa karena pada prinsipnya perempuan juga merupakan kelompok rentan pelanggaran HAM sehingga hak-hak kodrati yang melekat dalam diri mereka sangat riskan untuk diabaikan oleh orang lain.

Sadar atau tidak sadar, tanpa perempuan kita semua pasti tidak akan pernah ada didunia ini. Sehingga marilah kita sama-sama mengembalikan hak-hak perempuan yang selama ini seolah hilang seiring kurang aktifnya pemerintah dalam menerapkan aturan yang ada guna melindungi segala yang melekat dalam diri setiap perempuan Indonesia agar kedepannya perempuan Indonesia menjadi perempuan yang benar-benar siap untuk melahirkan generasi-generasi penerus bangsa yang memiliki daya saing tinggi dan moral yang baik.***

* Penulis adalah Kabid PTKP HMI FIS dan Staf Pusham Unimed
Sumber : http://www.analisadaily.com/news/read/2013/01/25/102594/jangan_kebiri_hak_perempuan/#.UQJtRfIsbQY

Penghapusan RSBI, Penghapusan Diskriminasi (Opini Sumut Pos)

  Pasca dikeluarkannya putusan MK mengenai penghapusan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), maka tidak adalagi sekolah-sekolah di Indonesia yang berhak mengenakan label RSBI baik ditingkat Sekolah Daras (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

Oleh: Eka Azwin Lubis

Penghapusan ini merupakan sinkronisasi dari dibatalkannya Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal (UU Sisdiknas) yang menjadi dasar pelaksanaan RSBI. MK menilai pasal ini tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat seperti yang dijelaskan ketua MK, Mahfud MD.

Sama-sama kita ketahui bahwa selama ini RSBI digadang-gadang sebagai sekolah yang mampu menciptakan bibit-bibit muda berprestasi dengan mengandalkan dukungan dari segala fasilitas sekolah yang jauh lebih baik dibandingkan sekolah-sekolah umum lainnya. Ruang kelas berlantaikan keramik serta didukung fasilitas AC disetiap ruangan serta dilengkapi dengan Laptop di meja guru yang langsung dihubungkan dengan infocus guna mempermudah guru dalam memberikan pelajaran kepada siswa-siswi di RSBI menjadi salah satu keunggulan fasilitas yang dimiliki oleh RSBI.

Namun persoalan lain muncul manakala sekolah yang mengenakan label RSBI menerapkan aturan untuk memungut uang masuk yang relatif besar kepada setiap calon peserta didiknya serta mematok uang SPP yang tinggi sehingga hanya siswa dengan latar belakang berkecukupan saja dapat bersekolah di RSBI serta menikmati fasilitas yang super ekstra tersebut.

Ada keterangan yang menyatakan bahwa RSBI tidak hanya diisi oleh siswa dari kalangan ekonomi menengah keatas saja karena mereka memberikan jatah 20% kepada siswa kurang mampu yang berprestasi untuk bersekolah disana. Hal tersebut memang memiliki tujuan yang baik karena memberikan kesempatan bagi generasi muda berprestasi namun memiliki kekurangan dari segi materi untuk menimbah ilmu di sekolah yang didukung fasilitias mewah sehingga memberikan kenyamanan bagi mereka untuk menuntut ilmu. Namun tanpa disadari sistem yang diterapkan oleh RSBI tersebut membuat 20% siswa dari latar belakang keluarga kurang mampu tadi merasa minder dengan teman-teman satu sekolahnya yang pada umumnya dilengkapi dengan aksesoris mewah seperti HP, Laptop, kendaraan, hingga Pakaian yang otomatis sangat kentara perbedaanya.

Meskipun anak-anak berprestasi tadi berkesempatan mendapatkan ilmu dengan fasilitas penunjang yang sama, namun mereka pasti merasa tertekan dengan situasi yang ada dan secara tidak langsung menghakimi status sosial yang mereka sandang dengan segala batasan yang ada.  Inilah salah satu alasan mengapa RSBI dianggap kurang efektif dalam penerapannya, karena secara tidak langsung sudah mengadopsi pola diskriminasi dan kastanisasi (penggolongan) di lingkup dunia pendidikan indonesia karena hanya mereka dengan latar belakang ekonomi berkecukupan saja dapat menikmati RSBI dengan segala fasilitasnya dan tidak merasa tertekan karena gaya hidup yang diterapkan sekolah sesuai dengan kemampuan ekonomi orang tua mereka.
Faktor lain yang menjadikan RSBI tidak efektif adalah persaingan mutu pendidikan yang sangat timpang antara sekolah umum baik itu negeri maupun swasta dengan RSBI yang mengadopsi kurikulum dari luar negeri dan menggunakan jasa guru-guru asing untuk menambah kualitas berbahasa asing siswa-siswi di RSBI karena adanya kemampuan sumber dana yang mereka miliki melalui pungutan-pungutan dari siswanya.

Pada dasarnya, sistem pendidikan indonesia yang sentralistik membuat hal tersebut menjadi sesuatu yang janggal karena adanya perbedaan yang diterapkan dalam proses belajar mengajar sementara eksekusi final mengenai proses kelulusan siswa masih ditentukan oleh pusat dengan sistem yang sama.

Pendidikan Tanpa Diskriminasi


Dalam preambule UUD 1945 terdapat beberapa tujuan bangsa indonesia yang salah satunya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan kata lain dapat diartikan bahwa hak akan pendidikan benar-benar dijamin keberadaanya secara mutlak oleh negara sehingga tercapailah apa yang menjadi cita-cita bangsa seperti yang tertuang dalam preambule dasar konstitusi negara ini. Hak atas pendidikan ini kembali diperkuat dalam Pasal 31 UUD 1945. Tentu saja acuan hukum mengenai hak atas pendidikan ini mengedepankan sistem pendidikan yang merata dan berimbang tanpa adanya disikriminasi.

Dengan begitu tidak ada alasan bagi kita menjadikan pendidikan sebagai wadah pengelompokan antara kaum borjuis dengan proletar sebagaimana yang banyak terjadi dalam kehidupan bangsa ini.  Pemerintah sebagai awak yang menakhodai jalannya negara memiliki andil yang sangat signifikan atas terwujudnya pendidikan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang pendidikan yang menyatakan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.

Dengan berbagai landasan hukum tentang substansifitas dari hak atas pendidikan yang harus dijamin keberadaanya oleh negara tanpa adanya diskriminasi tersebut, sudah seharusnya semua anak bangsa mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengenyam dunia pendidikan dengan fasilitas dan sarana yang memadai demi menunjang peningkatan mutu dan kualitas sumber daya manusia kita.

Bukan hanya mereka yang berada dikalangan menengah keatas saja yang berhak untuk mengenyam manisnya dunia pendidikan, namun semua warga negara Indonesia juga berhak untuk merasakan nikmatnya berpengetahuan dan menjadi orang yang berpendidikan. Tidak ada diskriminasi akan pencapaian hak atas pendidikan sebagaimana yang tertulis diatas. Sebab semua orang memiliki kedudukan yang sama dimata hukum untuk mendapat pendidikan tanpa memandang strata sosial dan latar belakang karena negara dengan tegas telah menjamin hal tersebut.

Dalam konstitusi telah dijelaskan negara menganggarkan dana  yang cukup besar untuk dunia pendidikan demi terpenuhinya hak atas pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam pasal 31 ayat 4 UUD 1945 dijelaskan bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Hal ini bukanlah sesuatu yang aneh mengingat untuk menjamin terwujudnya hak atas  pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia, tentunya memerlukan dana yang sangat besar. Sehingga wajar jika negara memprioritaskan 20% dana APBN untuk dunia pendidikan.

Namun sekali lagi melalui sokongan dana yang begitu besar, diharapkan tidak adanya lagi pengkotak-kotakan dalam sistem pendidikan kita sebagaimana yang selama ini telah terjadi. Sebab hak atas pendidikan bersifat universal.

Penulis: Kabid PTKP HMI FIS dan Staf Pusham Unimed