Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Story of MALANG

Kongres Himnas PKn 2011.

Story of Bandung

Kongres Himnas PKn 2012.

Story of Pandeglang

LK II HMI Cab. Pandeglang.

Aksi Kamisan

SeHAMA Angkatan IV 2012.

Debat Dengan Raja Minyak

Arya Duta Hotel - Medan 2011.

Minggu, 23 Desember 2012

Celoteh Mereka


Ir. Soekarno, Presiden Pertama RI :

Dalam sebuah revolusi, bapak makan anak itu adalah hal yang lumrah.
Soeharto, Presiden Kedua RI :

Siapa saja yang mencoba melawan, akan saya gebuki.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Negarawan, Ulama, Presiden ke-4 RI :

Tergantung pemerintah. Kalau pemerintah campur tangan terus dalam segala hal yang terjadi, adalah kami tidak ada jalan lain adalah membisikkan pada para pemilih golput aja bareng-bareng.
Megawati Soekarnoputri, Presiden ke-5 RI :

Nabi saja seorang pemimpin, tapi nggak sarjana kok.
Mark Twain, Penulis :

Saya tidak suka dengan perkelahian. Bila saya memiliki musuh, saya akan memaafkannya, mengajaknya ke tempat yang tenang, baru menghabisinya di sana.
Ann Landers, Kolumnis :

Satu dari empat orang di dunia ini mengalami gangguan jiwa. Bila tiga orang yang Anda kenal baik-baik saja, berarti Andalah yang mengalaminya.
Zsa Zsa Gabor, Aktris :

Saya adalah penjaga rumah yang hebat. Setiap kali saya meninggalkan seorang pria, saya selalu berhasil memiliki rumahnya.
Henry Ford, Pendiri Ford Motor :

Berpikir adalah pekerjaan terberat, karena itulah sedikit sekali orang yang mau menggunakan otaknya.
Alexander Dumas the Younger, Pebisnis :

Bisnis ? Caranya mudah sekali: gunakan saja uang orang lain.
Angie Dickinson, Aktris :

Saya berbusana agar dilihat wanita, dan menanggalkan busana agar dilihat pria.
Albert Einstein, Fisikawan :

Memahami pajak adalah hal yang paling sulit dimengerti di dunia ini.
Samuel Goldwyn, Produser Film :

Saya tidak mau dikelilingi orang yang bermental ‘yes-man’. Saya ingin orang yang mengatakan kebenaran meskipun setelah itu saya akan memecatnya. Kita membayar gajinya terlalu besar, sialnya lagi dia pantas menerimanya.
Roberto Goizueta, Pemimpin Coca Cola :

Musuh-musuh kita adalah kopi, susu, teh dan air putih.
John Paul Getty, Miliarder :

Bila Anda berhutang 100 Dollar, andalah yang pusing. Tapi bila Anda berhutang 100 juta Dollar, bank yang akan pusing.
Herbert Hoover, Presiden AS ke -31 :

Berbahagialah generasi muda, karena merekalah yang akan mewarisi hutang bangsa.
AnatoleFrance, Penulis :

Buku sejarah yang tidak mengandung kebohongan pastilah sangat membosankan.
Woody Allen, Sutradara Film :

Ternyata bertemu penjual asuransi jiwa adalah lebih buruk daripada kematian itu sendiri.
T.S. Eliot,Penulis :

Penulis yang masih muda, meniru. Penulis yang sudah berpengalaman, mencuri ide.
Agatha Christie, Novelis Misteri :

Kolektor barang antik adalah suami yang paling baik, karena semakin tua istrinya, semakin ia mencintainya.
Alfred Hitchcock, Sutradara Film Misteri :

Saya tidak pernah bilang bahwa para aktor adalah sapi. Saya hanya bilang mereka harus diperlakukan seperti sapi.
Alan King, Komedian :

Bila engkau ingin membaca tentang cinta dan perkawinan, maka engkau harus membaca dua buku yang berbeda.
AnatoleFrance, Novelis :

Jangan pernah meminjamkan buku karena tidak akan pernah dikembalikan. Buku-buku di perpustakaan saya semuanya adalah hasil pinjaman.
Voltaire, Filsuf :

Apabila kita bicara soal uang, maka semua orang sama agamanya.
D.H. Lawrence, Penyair :

Hasil dari kerja adalah uang. Hasil dari uang adalah lebih banyak uang. Hasil dari lebih banyak uang adalah kompetisi yang ganas. Hasil dari kompetisi yang ganas adalah dunia yang kita diami ini.
Lyndon B. Johnson, Presiden AS ke-36 :

Apabila dua orang selalu sepakat dalam segala hal, itu berarti cuma satu orang yang berpikir.
Charles de Gaulle, Presiden Perancis Pertama :

Politisi tidak pernah percaya akan ucapan mereka sendiri, karena itulah mereka sangat terkejut bila rakyat mempercayainya.
Thomas Alva Edison, Penemu :

Banyak orang yang percaya bahwa suatu hari kala mereka bangun dari tidur, mereka sudah menjadi kaya. Sesungguhnya mereka sudah separuh benar karena mereka memang telah bangun dari tidur.
James Baldwin,Penulis, Aktor :

Semua orang memuji-muji surga, tapi tidak ada yang mau pergi ke sana sekarang juga.
Don Marquis, Kolumnis :

Orang yang munafik adalah orang yang … hey, siapa sih yang tidak munafik.
Benjamin Franklin, Negarawan :

Orang yang pandai meminta-minta maaf, jarang sekali pandai melakukan hal-hal lain.
Joseph Stalin, Pemimpin Politik :

Kematian satu orang adalah tragedi, kematian jutaan orang adalah statistik.
Will Rogers, Pelawak Politik :

Politik itu mahal, bahkan untuk kalahpun kita harus mengeluarkan banyak uang.
Adolf Hitler, Pemimpin Nazi :

Alangkah beruntungnya penguasa bila rakyatnya tidak bisa berpikir.
Aku tidak perlu berpikir karena aku adalah pegawai pemerintah.
Clement Attlee, Perdana Menteri Inggris :

Demokrasi adalah pemerintahan yang diisi dengan banyak diskusi, namun demokrasi hanya efektif bila engkau mampu membuat orang lain tutup mulut.

Jumat, 14 Desember 2012

Intoleransi yang Membunuh Demokrasi Secara Perlahan (Opini Analisa)

 Oleh: 
Eka Azwin Lubis.

Pada era reformasi yang begitu mengagungkan demokrasi di segala sendi kehidupan bangsa, ternyata masih ada hal urgen yang menggangu stabilitas dari kehidupan berbangsa di Indonesia. Hal ini terlihat dari minimnya nilai toleransi ditengah-tengah masyarakat Indonesia meskipun hak-hak mereka kini semakin dijamin oleh hukum sehingga kebebasan setiap warga negara yang memangku kedaulatan tertinggi negara benar-benar terimplementasi.

Harus diakui secara jujur bahwa masyarakat kita saat ini masih mengalami krisis toleransi antar sesamanya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Kemajemukan seolah menjadi momok yang menakutkan dalam mengarungi kehidupan negara yang katanya menjunjung tinggi semangat pluralisme ini. Perbedaan masih menjadi propaganda paling laris di dalam kehidupan bangsa yang notabenenya terdiri dari beragam suku, agama, kepercayaan, budaya, dan adat istiadat.

Mulai dari konflik antar umat beragama, sengketa lahan, hingga sifat saling menyalahkan yang saat ini begitu mendominasi sanubari rakyat Indonesia. Dominasi mayoritas dan tirani minoritas begitu kentara dalam dinamika kehidupan bangsa. Padahal salah satu semangat reformasi yang begitu diidamkan oleh seluruh bangsa ini adalah hilangnya sikap diskriminasi yang begitu lama membelenggu kebebasan rakyat.

Bukankah ini merupakan bentuk kebebasan yang intoleran dalam mengaplikasikan makna reformasi itu sendiri. Jika kita adil dalam berfikir, bukan hal yang berlebihan jikalau Indonesia dianggap sebagai bangsa yang hipokrit dalam mengimplementasikan cita-cita reformasi yang menjunjung tinggi kebebasan, kebersamaan, dan persaudaraan.

Jika kita rekam jejak kebelakang, empat belas tahun sudah reformasi di Indonesia terjadi. Semangat perubahan yang berorientasi pada jaminan kebebasan dan kedaulatan rakyat secara mutlak menjadi cita-cita bersama yang diusung oleh para pejuang reformasi dalam upaya menumbangkan rezim orde baru dibawah pimpinan Presiden Soeharto.

Bukan pekerjaan yang mudah bagi mereka yang ingin melepaskan republik ini dari pengapnya kekuasaan otoriter dan mendambakan hidup dinegara yang menjamin kebebasan dan hak-hak rakyatnya. Sebab rintangan yang mereka hadapi adalah melawan rezim penguasa yang memiliki power luar biasa sehingga tidak tergoyahkan sampai 32 tahun masa kepemimpinan.

Kebosanan akan diskriminasi dan pengkerdilan demokrasi terjawab manakala rakyat secara masif menyuarakan perlawanan atas sistem pemerintahan yang diterapkan oleh Soeharto dan menuntut perubahan birokrasi yang lebih menjamin hak-hak warga negara.

Tentu masih segar dalam ingatan kita bagaimana tragedi trisakti, semanggi 1 dan semanggi 2 yang memakan korban jiwa dan harta benda akibat bentrokan yang terjadi antara demonstran dengan aparat keamanan yang berdalih ingin menjaga stabilitas keamanan Negara hingga berakhir pada pendudukan secara paksa kantor DPR/MPR oleh mahasiswa yang menjadi motor dari semua pergerakan melawan rezim orde baru.

Memang peristiwa-peristiwa itu bukanlah cerminan perjuangan untuk menumbangkan rezim soeharto secara keseluruhan, namun setidaknya itu merupakan klimaks dari semua pergerakan yang terjadi dihampir seluruh daerah di Indonesia yang pada akhrinya benar-benar berhasil menumbangkan pemerintahan orde baru dan terciptanya era reformasi.
Cita-cita Pejuang Reformasi



Cita-cita pejuang reformasi yang menginginkan jaminan akan kebebasan rakyat sebagai pemangku kedaulatan tertinggi negara ini seakan menemui titik terang setelah Soeharto pada tanggal 21 mei 1998 secara resmi membacakan surat pengunduran dirinya dan digantikan oleh wakilnya BJ. Habibie.

Praktis Indonesia pada saat itu menatap era baru dalam menaungi dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebebasan rakyat yang selama masa orde baru sangat dikekang oleh penguasa meskipun telah dijamin oleh konstitusi, mulai dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari pasca reformasi.

Peraturan-peraturan baru yang menjadi jaminan hukum bagi rakyat untuk mengekplorasi segala haknya terus bermunculan pasca berjalannya era reformasi. Jika pada saat pemerintahan Soeharto rakyat sangat dikekang dalam menyampaikan pendapatnya dimuka umum sebagai upaya untuk mengkerdilkan perlawanan rakyat, reformasi justru menjamin kebebasan tersebut dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, selama tidak melanggar norma-norma dan kaidah hukum yang berlaku. Ini merupakan satu langkah awal yang memberi angin segar kepada masyarakat Indonesia untuk merasakan kehidupan yang benar-benar berdemokrasi dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.

Pers yang merupakan lumbung informasi juga mendapatkan hak akan kebebasannya dalam meliput, membuat, dan menyampaikan berita kepada masyarakat secara luas. Kehidupan mereka yang pada zaman orde baru sangat akrab dengan berbagai intervensi politik, saat ini seakan memasuki lembaran baru dalam menjalankan tugas jurnalistik setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers yang memberi kekuatan hukum dan menjamin hak-hak mereka dalam menjalankan tugas jurnalistik.

Selain itu bobroknya pemerintahan orde baru yang diselimuti oleh hantu Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme karena minimnya pengawasan dan keterbukaan informasi yang dilakukan oleh pemerintah, mulai ditata ulang pada zaman reformasi ini. Transparansi dan akuntabilitas anggaran negara, kebijakan pemerintah, maupun segala hal yang menyangkut nasib rakyat menjadi satu sorotan tajam yang perlahan mulai diperbaiki oleh pemerintah dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik yang memberi ruang bagi rakyat untuk dapat mengikuti secara langsung berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

Semua itu dilakukan sebagai upaya untuk menerapkan kehidupan berdemokrasi yang benar-benar berhaluan pada kedaulatan rakyat. Sampai-sampai presiden yang merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang dulunya dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara pada saat itu, kini pada era reformasi, dipilih langsung oleh seluruh rakyat Indonesia yang telah memiliki hak pilih melalui pemilihan umum (Pemilu). Kebebasan rakyat dalam menggapai semua haknya yang dahulu dikerdilkan oleh pemerintah, perlahan mulai terealisasi oleh peraturan-peraturan baru yang dibuat.

Namun seperti yang dijabarkan diatas, persoalan intoleransi yang kini muncul seiring berjalannya kehidupan berdemokrasi di Indonesia, dikhawatirkan akan menjadi bom waktu yang siap membunuh kemapanan demokrasi kita secara perlahan. Bukan hal yang mustahil jika tatanan demokrasi yang sudah dikonsep secara baik akan hilang sia-sia karena tidak adanya lagi sikap saling menghargai dan menghormati antar sesama pemangku kedaulatan republik ini.***

Penulis adalah Kabid PTKP HMI FIS dan Staf Pusham Unimed


Sabtu, 08 Desember 2012

Mempertanyakan Aktualisasi Empat Pilar Kebangsaan (Opini Sumut Pos)

OLEH : 
Eka Azwin Lubis

Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Pasal 1 ayat 2 Undang–Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 tersebut menyatakan dengan tegas bahwa bangsa Indonesia meletakan atau menjunjung tinggi kedaulatannya yang berorientasi pada rakyatnya.
Hal tersebut merupakan satu keputusan mutlak bagi negara Indonesia yang berani memberikan amanah kedaulatan sepenuhnya ditangan rakyat yang dilaksanakan menurut Undang – Undang Dasar Negara sebagai landasan konstitusi bangsa. Oleh sebab itu meskipun kedaulatan tersebut dilaksanakan melalui sistem perwakilan, namun secara real dapat disimpulakan rakyatlah yang menjadi istrumen terpenting dalam berjalanya bangsa Indonesia diberbagai bidang.
Jika begitu, rakyat Indonesia juga harus paham bahwa dalam upaya mewujudkan kehidupan bangsa yang berkedaulatan serta mengedepankan negara yang berkeadilan maka kita harus memahami empat pilar penting yang ada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang harus senantiasa dijadikan patron dalam menjalankan kehidupan sehari – hari. Sebab seandainya empat pilar tersebut sudah tidak lagi melekat dalam diri setiap bangsa Indonesia maka niscaya kedaulatan negara akan tergadai karena orientasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sudah terabaikan. Keempat pilar tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain keberadaannya, sebab kesemuanya merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi dan saling berorientasi antar satu dengan yang lainnya.
Yang pertama adalah Pancasila, yang merupakan dasar negara Indonesia. Selain merupakan dasar negara, Pancasila juga merupakan dasar Idiologi bangsa. Pancasila merupakan cerminan mutlak dari seluruh rakyat Indonesia, sehingga identitas bengsa Indonesia tergambar dari butir – butir yang terkandung didalam Pancasila. Hal ini terlihat dari bagaimana tidak satupun bangsa Indonesia yang tidak berketuhanan atau sekedar bekepercayaan seperti yang tercantum dalam butir pertama pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa. Saat ini Indonesia mengakui adanya enam agama yang dijamin pemeluknya untuk melaksanakan ibadahnya, begitu juga para penganut kepercayaan yang keberadaan mereka di Indonesia juga dijamin oleh negara.
Yang tidak kalah dengan idiologi bangsa-bangsa lainnya adalah mampu memberikan semacam pandangan hidup bangsa yang beranekaragam karakter ini untuk tetap mengedepankan dialog atau musyawarah dalam menyelesaikan berbagai konflik horizontal yang terjadi diantara sesama Rakyat Indonesia karena memiliki berbagai perbedaan. Yang tidak kalah penting adalah bagimana keberagaman tersebut coba disatukan dengan meniadakan diskriminasi yang terkandung dalam butir kelima Pancasila yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Meskipun hal tersebut merupakan satu kerja yang sulit untuk dilaksanakan, namun upaya untuk menghilangkan ketidakadilan selalu dilakukan oleh pemerintah yang notabenenya merupakan wakil-wakil dari pemegang kedaulatan negara dan dalam rangka mengamalkan Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum yang ada di Indonesia.
Poin kedua dalam empat pilar tersebut adalah Dasar Konstitusi kita yakni Undang – Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 yang kemudian disingkat menjadi UUD 1945 dan telah mengalami empat kali amandemen yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan terakhir 2002. UUD 1945 sendiri merupakan salah satu landasan hukum negara Indonesia. Semua pasal yang terkandung dalam UUD 1945 merupakan bahan rujukan bagi aturan-aturan hirarki hukum dibawahnya seperti Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan terakhir Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Substansial UUD 1945 tidak dapa diabaikan dalam menjalankan kehidupan berbangsa. Sebab harus diakui bahwa meskipun UUD 1945 lahir pasca kemerdekaan Indonesia namun seluruh aturan yang terkandung dalam UUD 1945 adalah gambaran bagimana prilaku bangsa Indonesia dalam menjalankan sistem ketatanegaraan. Sehingga rakyat Indonesia harus sadar bagaimana sesungguhnya prilaku yang harus dilakukan oleh orang Indonesia sehingga sesuai dengan isi UUD 1945.
Lalu poin yang ketiga adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ) itu sendiri yang merupakan wadah atau rumah dari bangsa Indonesia. Negara ini merupakan negara kepulauan terluas yang ada didunia karena dihuni oleh 17.504 pulau. Sehingga ini tidak hanya merupakan pekerjaan rumah bagi TNI saja untuk menjaganya, namun seluruh rakyat Indonesia diberikan tanggung jawab dalam rangka mempertahankan keutuhan negara. Peran serta dari 237.556.363 jiwa bangsa Indonesia dalam mempertahankan keutuhan NKRI sangat diharap agar tindakan – tindakan separatis yang belakangan mulai mencuat lagi kepermukaan segera dapat diminimalisir dan dihilangkan dari muka bumi Ibu Pertiwi.
Poin terakhir yang tidak kalah urgen dalam empat pilar kebangsaan adalah Semboyan Negara yang berbunyi “ Bhineka Tunggal Ika “ yang berasal dari bahasa sansekerta yang berarti Walaupun Berbeda – Beda Tetapi Tetap Satu Jua. Semboyan tersebut menggambarkan bahwa Indonesia diisi oleh rakyat yang penuh kemajemukan seperti yang dijelaskan diatas. Dalam kemajemukan sudah menjadi hal yang lumrah akan senantiasa timbul perselisihan, Namun  bangsa Indonesia juga merupakan bangsa yang mencintai keberagaman sehingga dengan tegas semboyan bangsa yang selalu berdampingan erat dengan Pancasila meyatakan eksistensi persatuan tetap terjaga didalam berbagai perbedaan. Sebab persatuan bukan berarti kita sama, keberagaman juga bukan berarti kita berbeda.
740 suku bangsa/etnis, 583 bahasa dan dialek daerah, dan enam agama yang terdapat di Indonesia mampu disatukan dalam wadah NKRI yang berorientasi pada butir – butir  Pancasila yang diikat dalam aturan – aturan yang terkandung dalam pasal – pasal UUD 1945.
Butuh Realisasi Dalam Kehidupan 
Empat pilar tersebutdiibaratkan sebagai tiang – tiang penyangga dari kokohnya sebuah bangunan. Sehingga Implementasinya sangat dibutuhkan agar tidak terjadi keubuhan dalam menjalankan kehidupan bernegara.
Pemerintah yang dalam hal ini Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR ) saat ini sedang gencar – gencarnya mengampanyekan keempat pilar tersebut kepada masyarakat. Hal ini terlihat dari bagaimana MPR rutin melaksanakan Seminar Nasional yang digelar diberbagai daerah ditanah air yang bertajuk tentang pemahaman masyarakat akan keempat pilar kebangsaan tersebut.Namun satu hal yang lebih urgen untuk diperhatikan pemerintah selain kampanye tentang pemahaman empat pilar kehidupan bernegara tersebut adalah bagaimana kontrol sosial yang dilakukan oleh pemerintah agar keempat pilar tersebut benar – benar dipahami dan diamalkan dalam kehidupan seluruh bangsa Indonesia sehingga kita tidak senantiasa terkungkung pada teori semata namun implementasinya sering tidak tuntas sampai kesendi kehidupan bangsa disegala lini. 

Penulis: Kabid PTKP HMI FIS Unimed dan Staf Pusham Unimed

Rakyat Juga Harus Di Reformasi (Opini Sinar Indonesia Baru)

Oleh : 
Eka Azwin Lubis

Hari  ini kita dihadapkan oleh berbagai peristiwa sosial yang senantiasa terjadi silih berganti seolah tanpa henti. Mulai dari ketimpangan sosial yang terus menjadi masalah ditengah kehidupan berbangsa sehingga perlahan mulai mengikis eksistensi kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap pemerintah yang seyogyanya merupakan wakil dari seluruh rakyat Indonesia karena dipilih langsung oleh masyarakat Indonesia melalui pemilihan umum untuk diamanatkan menjadi orang-orang yang dapat menyambung berbagai aspirasi rakyat untuk mendapatkan kelayakan hidup dalam berkebangsaan.
Selain itu masalah ekonomi yang tak kunjung usai juga menjadi satu hal yang cukup urgen dalam setiap pembahasan kinerja pemerintah diberbagai tempat. Belum lagi masalah-masalah lain seperti kebebasan berkeyakinan dan beragama yang kerap menimbulkan konflik antar sesama pemeluk agama yang memiliki pola fikir dan sudut pandang yang berbeda dalam menjalankan ritual agama dan kepercayaannya, dimana makin hari rakyat Indonesia makin tidak dewasa dalam menerima berbagai perbedaan yang ada karena Indonesia memang bukanlah tempat atau negaranya satu golongan saja sehingga kita tetap harus bersentuhan langsung dengan mereka yang memiliki perbedaan dan kedewasaan untuk  dapat menerima dan saling bertoleransi dengan perbedaan itu kerap menjadi tuntutan.
Negara ini sangat disubukan oleh banyaknya masalah yang diakibatkan oleh ketidak harmonisan antara pihak pemerintah dan masyarakatnya dalam menjalankan roda kehidupan bernegara. Hal ini dikarenakan pemerintah yang seharusnya menjadi orientasi seluruh masyarakat Indonesia untuk mendapatkan kesejahteraan, kemakmuran dan keamanan justru sibuk mementingkan masalah pribadinya sehingga menghilangkan rasa idealismenya sebagai pelayan rakyat yang bertugas memberikan atau memfasilitasi rakyat untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara.
Tidak hanya pemerintah saja yang saat ini mengalami krisis identitas,  rakyat juga seolah tidak menyadari apa substansi dari bagaimana cara menjadi warga negara yang baik. Kita disibukan dengan cara kita yang lebih mengedepankan kritisi tanpa memberi solusi. Hal ini dapat dilihat dari kurang dewasanya masyarakat kita dalam menanggapi masalah-masalah yang timbul ditengah-tengah mereka. Yang mereka pahami hanyalah jika ada berbagai ketimpangan baik itu sosial, ekonomi, maupun ranah kehidupan lain yang berbau nepotisme itu semata – mata merupakan kesalahan dari pemerintah. Sementara rakyat hanyalah orang yang menjalankan aturan yang ada sehingga tidak pantas untuk dipersalahkan. Cara pandang yang seperti inilah yang saat ini masih tertanam kuat dalam pola fikir sebahagian besar masyarakat Indonesia.
Jika begini harus kita akui secara cerdas bahwa hal yang harus dibenahi tidak hanya dari pihak pemerintahnya saja, tetapi yang lebih urgen adalah bagaimana pola fikir masyarakat yang juga harus mendapat perhatian lebih untuk diperbaiki agar keduanya berjalan seimbang. Kerana jikalau pemerintahan berjalan bagus sekalipun namun tidak didukung dengan kedewasaan masyarakat dalam menjalankan kehidupan berbangsa maka harapan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang madani hanya akan menjadi suatu mimpi yang utopis.
Vox Populity Vox Dai
Suara rakyat adalah suara Tuhan. Bagitu sakralnya kalimat tersebut dimana rakyatlah yang dijadikan orientasi dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia sekarang mencoba untuk menerapkan hal tersebut. Terbukti dari pemerintahan yang ada saat ini baik Legislatif maupun Eksekutif semuanya dipilih secara langsung oleh masyarakat Indonesia yang telah memiliki hak untuk memilih. Tidak hanya ditataran pusat, sistem pemilihan ala demokrasi secara langsung ini juga dipraktikan untuk memilih pemerintahan daerah.
Berarti teori yang ada dikonstitusi yang menyatakan bahwa kedaulatan negara berada ditangan rakyat telah teraplikasi secara real. Namun yang jadi masalah adalah bagaimana mungkin jika pemangku kedaulatan itu sendiri didominasi oleh orang – orang yang tidak cerdas yang cenderung masih berfikiran pragmatisme dan egosentris seperti yang diutarakan oleh Quadi Azam bahwa kecil kemungkinan negara dapat berjalan stabil jika rakyatnya hanya bisa memberi sumbangsih pada pemerintah sekedar kritisi tanpa diiringi oleh solusi.
Kita paham betul bagaimana tiap kali pesta demokrasi akan segera digelar, maka dengan otomatis masyarakat mulai ternyamankan oleh hamburan uang yang dikucurkan oleh orang-orang yang memiliki niatan untuk duduk dikursi pemerintahan yang mengatasnamakan wakil rakyat. Apa pernah kita melihat jika ada oknum yang mencoba untuk melakukan praktik Money Politic dalam rangka mencari dukungan, maka ramai-ramai masyarakat yang diajak untuk konsolidasi menolaknya. Jawabnya tentu tidak, mereka justru memanfaatkan moment ini untuk memperbaiki ekonomi mereka yang sifatnya sementara.
Masyarakat sangat jarang berfikir dampak yang luar biasa hebat apabila mereka memilih orang-orang yang memberikan uang untuk mengambil simpati mereka. Mereka enggan untuk memfilter calon-calon wakil mereka yang memiliki kapasitas dan tentunya loyalitas kepada mereka jika terpilih nanti meskipun mereka tidak memiliki uang atau benda yang bisa dibagi pada saat kampanye namun siap memberi perubahan perekonomian masyarakat dimasa depan. Masyarakat sangat malas berfikir secara idealis akan hal itu, yang ada justru fikiran pragmatis dimana sangat bodoh jika menyia-nyiakan rezeki yang ada meskipun boomerang kemiskinan akan tetap bersahabat dengan mereka.
Karena sudah hal yang lazim apabila seorang calon yang menghaburkan uang untuk mendapat dukungan, maka saat ia terpilih menjadi wakil rakyat yang ada bukanlah fikiran bagaimana untuk menyejahterakan rakyat tetapi justru bagaimana untuk mengembalikan modal yang banyak terbuang saat kampanye. Maka wajar jika hari ini kita dihadapkan pada realita dimana pemerintah tidak lagi respons terhadap masalah kemiskinan rakyatnya karena jauh sebelum mereka terpilih, masyarakat sendirilah yang menagajari mereka untuk berfikiran pragmatis.
Contoh lain adalah kita selalu menganggap polisi tidak lagi menjadi simbol keamanan negara. Hal ini dikarenakan setiap ada polisi yang berada dipinggir jalan maka ketakutan yang luar biasa juga akan muncul karena pola fikir yang masih tertidur dimana apabila terjaring operasi razia polisi maka kita harus siap-siap untuk mengeluarkan uang yang cukup besar agar tidak terjadi penahanan oleh aparat kepolisian.
Disini sekali lagi kita harus cerdas dalam menyikapinya, selain kesalahan dari oknum polisi yang memang harus diakui kerap ”memeras” meskipun caranya lebih santun dibanding pemalak jalanan apabila ada orang yang melanggar lalu lintas meskipun tidak ada operasi resmi. Masyarakat juga tidak bisa dibenarkan dalam rangka negosisasi ala polisi yang tidak profesional dengan mereka. Yang pertama jelas mereka melanggar lalu lintas sehingga wajar untuk ditertibkan. Yang kedua adalah apabila oknum kepolisian yang tidak profesional tadi menawarkan negosiasi, masyarakat juga harus cerdas untuk menolaknya dan harus lebih memilih untuk diproses dan diselesaikan secara legalitas formal.
Dari sini kita dapat berkesimpulan bahwa kesalahan tidak hanya mutlak terletak dari pemerintah yang berkewajiban menjalankan roda birokrasi negara, tetapi rakyat juga dituntut kecerdasannya dalam peran sertanya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara.

Penulis adalah Kabid PTKP HMI FIS Unimed dan Staf Pusham Unimed