Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Story of MALANG

Kongres Himnas PKn 2011.

Story of Bandung

Kongres Himnas PKn 2012.

Story of Pandeglang

LK II HMI Cab. Pandeglang.

Aksi Kamisan

SeHAMA Angkatan IV 2012.

Debat Dengan Raja Minyak

Arya Duta Hotel - Medan 2011.

Minggu, 24 Juni 2012

Tokoh Agama Harus Memiliki Perspektif HAM (Opini Analisa)


Oleh : Eka Azwin Lubis.
Bicara tentang Indonesia maka tidak bisa lepas dari fakta negara majemuk yang dihuni oleh bermacam ragam suku bangsa, budaya, keyakinan, bahkan agama. Itu artinya Indonesia yang tidak hanya memiliki satu orientasi yang sama dalam berbudaya, berkeyakinan, dan beragama, namun memiliki satu komitmen yang sama dalam menjalankan kehidupan bernegara karena dipersatukan oleh Bhineka Tunggal Ika didalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai negara yang besar dan diisi oleh warga negara yang multikultur dan multietnis, bangsa kita selalu mendapat apresiasi dari negara lain karena mampu memelihara kedamaian dan kerukunan antar umat beragama didalam menjalankan kehidupan bernegara. Sikap saling menghargai dan toleransi yang tinggi menjadikan bangsa kita sebagai bangsa yang benar-benar menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan ditengah-tengah berbagai perbedaan yang ada. Bagi kita yang sadar hak asasi setiap manusia, tidak ada alasan untuk tidak saling menjaga hati dan perasaan saudara-saudara sebangsa kita yang berbeda agama, suku, maupun keyakinan demi terciptanya persatuan Indonesia sebagaimana yang telah diamanatkan dalam dasar idiologi Pancasila butir ketiga.
Kemajemukan yang ada di negeri ini mulai jarang menimbulkan konflik horizontal apalagi pasca reformasi tahun 1998 dimana penegakan hukum semakin dijamin oleh negara. Namun bukan berarti konflik horizontal akibat perbedaan agama dan keyakinan sama sekali tidak ada lagi pasca reformasi, karena kedewasaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dalam menjalankan komitmen persatuan ditengah perbedaan masih belum menyeluruh. Terbukti dari masih adanya konflik-konflik yang didasari perbedaan agama maupun sudut pandang keyakinan seperti pengusiran dan pembakaran rumah yang menimpah kaum syiah di Madura, kekerasan terhadap pemeluk Ahmadiyah di Pandeglang, maupun konflik pembangunan Gereja GKI Yasmin di Bogor.
Hal ini menunjukan bahwa belum semua rakyat Indonesia mampu untuk membentengi dirinya dalam menjaga persatuan Indonesia yang didukung oleh sikap toleransi yang tinggi. Padahal negara kita sangat mengharapkan kuatnya penanaman nila-nilai toleransi dan saling menghargai yang dimiliki oleh semua bangsa Indonesia untuk menjaga kearifan bernegara ditengah perbedaan yang ada. Tanpa itu (toleransi) agaknya sulit untuk menjaga persatuan dan kesatuan dalam menjalankan kehidupan bernegara karena banyaknya perbedaan yang dimiliki oleh rakyat Indonesia.
Peran Tokoh Agama
Ada sosok-sosok yang sebenarnya cukup memiliki peran sentral dalam menanamkan dan menjaga nilai-nilai toleran dan sikap saling menghargai antar umat beragama dan berkeyakinan yang hidup dalam satu wadah dan saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Mereka adalah para tokoh agama yang merupakan pemuka agama dan dianggap sebagai orang yang memiliki kharisma dan dapat mempengaruhi umat karena petuah dan nasihat-nasihatnya sesuai dengan ajaran agama sehingga kebijakan-kebijakan yang dibuatnya dalam menyikapi masalah horizontal dengan sesama manusia termasuk masalah yang berkaitan dengan perbedaan yang ada ditengah-tengah masyarakat, sering menjadi acuan atau tolak ukur umat dalam melakukan tindakan.

Mereka mimiliki peran yang cukup signifikan dalam menentukan arah hidup bangsa, bahkan suka atau tidak suka kita harus berani akui bahwa perintah atau arahan dari tokoh agama cenderung lebih didengarkan oleh umatnya dari pada perintah atau arahan yang diberikan oleh pimpinan negara baik ditingkat pusat maupun daerah. Hal ini bukan sesuatu yang berlebihan, karena meskipun kehidupan berdemokrasi di Indonesia saat ini sudah jauh lebih melek dibanding demokrasi pada zaman sebelumnya karena pemimpin negara dipilih langsung oleh rakyat, namun kepercayaan yang diberikan oleh rakyat kepada tokoh agama sesungguhnya lebih besar dari pada kepercayaan yang diberikan kepada wakil-wakil rakyat yang duduk dikursi pemerintahan. Sehingga tidak jarang dalam membuat atau mengambil kebijakan, pemerintah sering melibatkan tokoh agama untuk dimintai tanggapan dan masukannya agar mereka mampu untuk menjadi ikon-ikon pemberi contoh kepada umat dalam menjalankan kebijakan yang dibuat.
Begitu vitalnya peran tokoh agama dalam menjalankan kehidupan bernegara yang penuh dengan kemajemukan sehingga dapat menjadi contoh kepada umatnya dalam menanamkan sikap toleransi dan saling menghargai atas berbagai perbedaan yang ada sesuai ajaran agama karena mereka memiliki suara yang masih didengar oleh semua umatnya dari berbagai kalangan sosial.
Ketidakdewasaan dalam Berkebijakan
Sama-sama telah kita ketahui melalui penjelasan diatas seberapa penting dan sejauh mana peran yang dimainkan oleh tokoh agama dalam mempengaruhi arah hidup bangsa karena kepercayaan umat yang ada pada mereka melebihi apa yang ada pada pemimpin negara sekalipun. Mereka dianggap sebagai orang-orang yang hampir luput dari dosa sehingga semua kebijakannya patut untuk diikuti dan ditiru agar tidak keliru dalam menjalankan kehidupan ini.
Namun yang harus lebih dicermati adalah apakah semua tokoh agama itu benar-benar murni dalam menyuarakan nasib umat dan menjadi jembatan penghubung antara perbedaan yang ada. Sebab jika adil kita berfikir, masih banyak para tokoh agama yang justru memiliki kepentingan tersendiri dalam memanfaatkan status sosialnya sebagai pemuka agama sehingga melupakan kepentingan umat secara berjamaah. Mereka cenderung menyuarakan keinginan pribadinya kepada pemerintah dan mengenyampingkan amanat kaumnya. Kejadian seperti inilah yang masih banyak muncul ditengah-tengah kehidupan kita dimana segelintir tokoh agama yang hipokrit tersebut justru memanfaatkan popularitasnya demi kepentingan pribadi.
Selain cenderung mengedepankan kepentingan pribadi, terkadang beberapa oknum pemuka agama juga melakukan kebijakan yang sangat kontradiksi dengan ajaran agama dimana arahan atau nasihat yang mereka berikan justru tidak menunjukan sikap toleransi dan saling menghargai antar sesama umat beragama. Tidak jelas kepentingan apa yang melatar belakangi mereka hingga membuat kebijakan yang demikian dangkal. Namun yang jelas kebijakan yang mereka ambil merupakan sesuatu yang akan dilakukan oleh kaumnya karena menganggap kebijakan tersebut bersumber dari orang-orang yang dapat dipercaya dan sesuai dengan koridor agama.
Seperti yang terjadi menjelang Pertemuan Internasional umat Konghucu di Medan pada tanggal 22 sampai 26 Juni 2012. Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) yang merupakan organisasi bernaungnya para pemuka agama Islam, mengeluarkan kebijakan berupa penolakan terhadap terselenggaranya pertemuan Konghucu Internasional tersebut karena menganggap umat Konghucu yang hanya segelintir tidak pantas menggelar pertemuan di daerah yang dihuni oleh penduduk yang mayoritas beragama Islam.
Bahkan ada satu permintaan yang diutarakan oleh salah seorang Pengurus Daerah Muhammadiyah Medan kepada walikota dan kapolresta agar tidak memberikan izin rekomendasi terhadap acara yang akan dihadiri oleh tokoh-tokoh agama Konghucu dari berbagai belahan dunia tersebut. Apakah wajar permintaan tersebut dilakukan oleh seseorang yang merupakan tokoh agama dimana suaranya akan menjadi tolak ukur umat dalam bertindak.
Apakah beberapa tokoh agama tersebut belum memiliki perspektif HAM dalam membuat kebijakan sehingga apa-apa yang menjadi hak dasar orang lain justru mereka abaikan demi tujuan yang sangat kontradiksi dengan ajaran agama. Bukankah ini satu bentuk ketidakdewasaan tokoh-tokoh agama tersebut dalam mengambil kebijakan yang dapat mempengaruhi umat. Sikap toleransi antar umat beragama sangat tidak terlihat disana. Harusnya kita bangga dan mendukung umat Konghucu di kota Medan yang jumlahnya hanya segelintir namun mampu untuk menggelar pertemuan internasional sehingga menunjukan pada dunia luar bahwa kita benar-benar bangsa yang menghargai perbedaan sebagaimana yang diajarkan oleh nilai-nilai agama. Sikap toleransi yang kita tunjukan nantinya pasti juga akan mendapat apresiasi dari negara lain karena mereka menganggap kita benar-benar bangsa yang hidup ditengah perbedaan namun selalu menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia dalam kehidupan bernegara.***

Penilis adalah Kabid PTKP HMI FIS Unimed Dan Staf Pusham Unimed
Sumber : Analisa  Sabtu, 23 Jun 2012



Kamis, 14 Juni 2012

HAM Dalam Perspektif Demokrasi

Oleh : Eka Azwin Lubis

 Demokrasi merupakan satu sistem pemerintahan yang berhaluan pada kedaulatan rakyat dalam membentuk satu pemerintahan dimana rakyat menjadi orientasi utama yang menjalankan roda birokrasi negara melalui sistem perwakilan yang dimandatkan secara langsung. Prinsip – prinsip yang ada dalam konsep demokrasi merupakan kesepakatan yang dibuat melalui proses musyawarah dan mufakat untuk mengambil satu kebijakan. Di Indonesia sendiri konsep demokrasi diartikan sebagai pola pemerintahan yang dipilih untuk menjalankan roda birokrasi negara ini. Hal ini terlihat jelas terutama pasca tumbangnya zaman Orde Baru dan munculnya era reformasi dimana hak dan legitimasi rakyat sebagai pemangku tertinggi kedaulatan negara diberikan secara mutlak oleh negara. Meskipun masih banyak hal-hal yang menjadi hak masyarakat namun belum dapat direalisasikan atau diberikan oleh negara secara utuh sebagaimana mestinya, itu semata-mata merupakan proses pendewasaan dalam menjalankan kehidupan negara yang berdemokrasi. Satu hal yang dapat menjadi bukti bagaimana demokrasi telah diimplementasikan secara real dalam kehidupan bernegara adalah bagaimana pemerintah Indonesia baik itu Eksekutif mulai dari Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota, hingga ditingkat kepala desa, semuanya dipilih melalui pemilihan secara langsung oleh masyarakat yang telah memiliki hak pilih yang ditentukan oleh konstitusi melalui Pemilihan Presiden (Pilpres) maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Sama halnya dengan pemilihan pemerintah eksekutif, pemilihan pemerintah legislatif yang meliputi DPD dan DPR baik yang berada dipusat maupun yang berada didaerah, kesemua proses pemilihan anggotanya melalui pemilihan secara langsung oleh masyarakat dengan wadah yang disebut Pemilihan Umum (Pemilu). Kesemua hal dalam memilih pemerintah sebagai wakil rakyat dengan cara pemilihan langsung tersebut merupakan satu cerminan dimana kebebasan berdemokrasi telah dijamin keberadaanya oleh negara termasuk halnya untuk memilih pemimpin negara. Legitimasi rakyat yang merupakan pemegang kedaulatan negara seperti yang tertera dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 semakin diperjelas melalui hal tersebut. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa dewasa ini seharusnya rakyat sudah menjadi sosok sentral dalam menjalankan kehidupan negara karena merupakan pemegang kedaulatan negara sebagaimana yang diatur didalam konstitusi. Apalagi pasca tumbangnya rezim orde baru yang secara jujur harus diakui telah banyak mengekang kebebasan masyarakat diberbagai sisi kehidupan, munculnya era reformasi ini seakan memberi angin segar bagi masyarakat Indonesia dalam menjalankan berbagai bentuk kebebasan-kebebasan yang menjadi haknya dan harus dilindungi oleh negara. Dapat kita lihat bahwa tidak ada lagi pihak-pihak yang harus merasa takut atau terancam apabila ingin menyuarakan hak-haknya yang dilanggar atau dirampas oleh orang lain apalagi negara karena sudah ada aturan konstitusi yakni Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum yang menjamin kebebasan mereka untuk menyampaikan pendapat seluas-luasnya selagi tidak mengganggu hak dan ketentraman hidup orang lain. Jika pada zaman orde baru dulu pemerintah terkesan eksklusif dalam masalah keuangan atau apapun yang berbau tentang anggaran, saat ini hal tersebut sudah tidak lagi berlaku karena pemerintah sudah mulai menerapkan konsep demokrasi yang tak lepas dari sifat transparansi dan akuntabilitas dengan cara membuat Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik, sehingga semua masyarakat Indonesia berhak untuk mengetahui segala hal yang menyangkut sistem pemerintahan termasuk masalah anggaran publik yang menjadi hak dan wewenang rakyat untuk mengetahuinya sebagai pemegang kedaulatan negara Indonesia Perlindungan HAM Oleh Negara Demokrasi. Sama – sama kita pahami bahwa Hak Asasi Manusia merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sehingga prinsip-prinsip HAM harus diketahui, dilindungi, dihormati, dan ditegakan secara mutlak dalam kehidupan sehari-hari agar tidak terjadi kejadian-kejadian yang dapat berpotensi pada upaya untuk menghilangkan atau menciderai hak kodradi seorang manusia dalam menjalankan hidup. Pemerintah yang merupakan aparatur negara dalam menjalankan roda birokrasi dalam hal ini merupakan pihak yang menjadi pelindung, penegak, dan pemenuhan HAM bagi semua masyarakat seperti yang diatur dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.” Menyadari hal ini, Indonesia yang merupakan negara demokrasi dan menjadikan HAM sebagai objek vital yang harus dihormati, dilindungi, dan ditegakan dalam kehidupan seluruh masyarakat Indonesia, coba menerapkan prinsip-prinsip dasar HAM dalam aplikasi kehidupan masyarakat dengan perspektif demokrasi yakni Universal (menyeluruh), Indivisible (tidak dapat dibagi-bagi), Inalianable ( tidak bisa dipisahkan dengan manusia), dan Interdependent (saling bergantungan antar satu dengan yang lainnya). Hal ini menjadi satu tantangan tersendiri bagi pemerintah yang merupakan objek pelindung dan penegak HAM agar dapat mengimplementasikan kehidupan masyarakat demokrasi yang menjunjung tinggi HAM. Sebab hingga saat ini masih banyak warga negara Indonesia yang belum mengerti tentang substansi dari konsep HAM sebagaimana mestinya dengan gaya hidupnya yang penuh dengan kebebasan karena dijamin oleh konstitusi untuk berdemokrasi. Salah satu fenomena dalam kehidupan demokrasi yang masih kerdil akan perspektif HAM adalah bagaimana sekelompok warga yang meyakini satu kepercayaan tertentu dan dianggap oleh masyarakat umum sebagai aliran sesat, dengan serta merta diperlakukan secara tidak manusiawi. Kejadian seperti ini sangat sering terjadi di Indonesia. Bukankan kebebasan kita dalam memeluk agama dan mempercayai satu keyakinan tertentu sudah diatur dalam konstitusi. Tapi mengapa masih ada pihak yang mencoba melanggar kebebasan orang lain dalam beragama dan berkeyakinan yang merupakan salah satu bentuk demokrasi. Dan yang harus diingat adalah peristiwa tersebut merupakan tindak pidana, namun kedewasaan pemerintah dalam menangani kasus tersebut sangat riskan dengan potensi pelanggaran HAM. Sebab apabila negara melakukan pembiaran atau terkesan tidak merespon kejadian tersebut maka negara telah melanggar HAM karena membiarkan kebebasan seseorang untuk berkeyakinan dirampas oleh orang lain. Contoh tersebut agaknya cukup menjadi satu tolak ukur sudah sejauh mana HAM diimplementasikan dalam negara yang menganut sistem demokrasi.

Pantaskah TNI Keluar Barak Lagi ?

Oleh : Eka Azwin Lubis


 Isu kenaikan harga Bahan Bakar Minyak ( BBM ) per satu April mendatang direspon dengan aksi penolakan diseluruh pelosok negeri oleh hampir semua elemen masyarakat yang merasa bahwa kenaikan harga BBM hanya akan menambah beban hidup rakyat yang selama ini sudah tertekan dengan himpitan kemiskinan. Sehingga ketika pemerintah mempunyai wacana untuk menaikan harga BBM menyusul kenaikan harga minyak dunia, dengan seketika pula rakyat beramai-ramai menolaknya. Mahasiswa kembali menjadi motor pergerakan dari aksi massa yang menolak kenaikan harga BBM yang menurut pemerintah juga dipicu oleh beberapa faktor selain kenaikan harga minyak dunia yakni ekonomi dunia yang saat ini juga sedang mengalami perlambatan sehingga berdampak pada target pertumbuhan ekonomi Indonesia yang awalnya ditetapkan 6,7% diubah menjadi 6,5%. Selain itu laju inflasi pada APBN 2012 yang mulanya ditetapkan 5%, akan terdorong naik dan diperkirakan mencapai 7%. Ditambah lagi nilai tukar rupiah yang awalnya berkisar Rp 8.800 per dolar saat ini sudah berkisar Rp 9.000 per dolar AS. Namun apapun alasan yang dilontarkan pemerintah sebagai jawaban dari aksi penolakan kenaikan harga BBM yang terjadi dimana-mana, agaknya hanya menjadi alasan usang sebagai apologi pembelaan yang tentunya tidak dapat diterima oleh masyarakat luas. Sehingga demonstrasi berkepanjangan terus dilancarkan oleh berbagai elemen masyarakat termasuk Mahasiswa sebagai upaya untuk mengurungkan niat pemerintah dalam menaikan harga BBM. Berbagai bentuk aksi penolakan dilakukan oleh masyarakat sipil dan Mahasiswa, dari mulai konsolidasi dan audiensi dengan pihak birokrasi seperti DPR yang membuat kebijakan menaikan harga BBM, mengirimkan surat kepada Presiden SBY sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang ikut berperan dalam membuat kebijakan menaikan harga BBM, aksi mogok makan dan jahit mulut sebagai upaya untuk mengundang simpati pemerintah agar tidak jadi menaikan harga BBM, hingga aksi yang paling akrab terjadi dikalangan mahasiswa dalam menyuarakan hak-haknya yakni turun kejalan dengan meneriakan suara anti penindasan. Terus kita saksikan baik secara langsung maupun melalui medai bagimana penolakan kenaikan harga BBM dengan aksi turun kejalan terus mewarnai bumi Indonesia setiap harinya diseluruh penjuru negeri. Teriakan menolak kenaikan harga BBM yang terus disuarakan seolah tiada henti. Seluruh organisasi kemahasiswaan dan organisasi kemasyarakatan bersatu padu dalam menggalang massa dan menyuarakan satu tekat untuk menolak kenaikan harga BBM. Jalanan raya dan kantor-kantor pemerintahan menjadi sasaran para demonstran yang kecewa dengan kebijakan pemerintah untuk menaikan harga BBM. Tidak sedikit kampus-kampus yang mengalami kelumpuhan dalam proses perkuliahan karena seluruh mahasiswanya ikut aksi untuk menyuarakan penolakan terhadap kenaikan BBM. Aparat kepolisian juga harus mandapat kerja tambahan setiap harinya untuk mengawal jalannya aksi demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat sipil dan Mahasiswa. Sehingga tidak jarang personil kepolisian yang senantiasa menjalankan tugas negara untuk mengawal ketertiban dan keamanan, harus menjadi sasaran para pengunjuk rasa yang kecewa dengan ditariknya subsidi BBM, namun anggaran untuk fasilitas anggota DPR tidak pernah dipangkas sebagai upaya meminimalisir pengeluaran APBN. Aksi saling dorong hingga berujung pada bentrokan antara demonstran dengan aparat kepolisian tidak jarang terjadi mewarnai unjuk rasa menolak kenaikan harga BBM. Di Makassar, Mahasiswa yang menggelar aksi, membakar jalan tol dan mobil berplat merah yang merupakan mobil dinas pemerintahan. Bahkan di Medan aksi yang digelar Front Rakyat Sumatera Utara di kantor DPRD Sumut berakhir anarkis dan berujung ditahannya 37 pengunjuk rasa yang disinyalir menjadi provokator tindakan anarkis para demonstran. Didaerah lain aksi serupa juga tidak jarang berakhir pada tindak anarkis seperti pengrusakan fasilitas negara, penghancuran truk pengangkut BBM, hingga aksi saling pukul antara demonstran dengan polisi. Itu semua terjadi akibat kekecewaan masyarakat karena tidak adanya respon dari pemerintah dalam menanggapi tuntutan mereka yang menginginkan harga BBM tidak dinaikan. Sehingga lampiasan kekecewaan tersebut harus berujung dengan tindakan-tindakan anarkis. Polisi yang tidak tau menau dalam kebijakan menaikan harga BBM justru menjadi berisan terdepan yang harus melayani dan bersentuhan langsung dengan masyarakat yang kecewa dengan kebijakan Presiden yang mendapat persetujuan dari mayoritas fraksi yang ada di DPR. Hal ini dikarenakan polisi lah yang memiliki tugas untuk menjaga ketertiban dan keamanan negara meski dalam kondisi apapun. Sehingga suka atau tidak suka polisi harus tetap bersiaga dalam mengawal unjuk rasa yang terus menurus terjadi menjelang rencana kenaikan harga BBM satu april mendatang. TNI Kembali Berhadapan Dengan Demonstran Namun ada satu hal yang unik dilakukan oleh pemerintah dalam upaya mengamankan aksi penolakan kenaikan harga BBM. Polisi yang selama ini menjadi pihak yang bertanggung jawab penuh untuk mengawal dan mengamankan berbagai aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh masyarakat sipil maupun Mahasiswa, kini harus berbagi peran dengan personil TNI yang mendapat mandat dari pemerintah untuk keluar barak sebagai upaya membantu polisi untuk mengamankan jalannya aksi unjuk rasa menolak kenaikan harga BBM yang dianggap pemerintah sudah tidak lagi kondusif. Jika kita mengacu pada Undang – Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, pasal 7 ayat 1 yang menjelaskan tugas pokok dari TNI yakni menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Dari penjelasan tentang tugas TNI tersebut kita menemukan satu kejanggalan yang dilakukan oleh pemerintah untuk melibatkan TNI dalam mengamankan aksi unjuk rasa oleh masyarakat yang menolak kenaikan harga BBM. Sebab sama-sama kita pahami bahwa tidak ada tindakan yang dilakukan oleh masyarakat dalam melakukan unjuk rasa menolak kenaikan harga BBM yang mengancam kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI. Apabila ada tindakan-tindakan yang dilakukan para pengunjuk rasa yang menggangu kondusivitas keamanan negara, bukankah sudah ada Polri yang bertugas untuk mengamankannya. Jangan sampai pemerintah berkuasa saat ini menyalahgunakan wewenangnya yang dikhawatirkan akan berakibat pada benturan-benturan yang kembali terjadi antara TNI dengan masyarakat seperti halnya tragedi 1998. Sebab pasca dicabutnya dwi fungsi ABRI yang memisahkan antara institusi Polri dan TNI, kedua lembaga ini memiliki tugas pokok dan fungsi yang berbeda. Keamanan dan kondusivitas negara adalah wewenang Polri dalam penegakannya. Sementara penegakan kedaulatan negara dan pertahanan keutuhan wilayah negara, merupakan tugas pokok dari TNI. Oleh sebab itu aneh rasanya jika TNI kembali harus dilibatkan untuk mengamankan aksi penolakan kenaikan harga BBM. Seperti yang dijelaskan diatas, bukan tidak mungkin tragedi kelam masa lalu tentang perseteruan antara pengunjuk rasa yang menuntut turunnya rezim Soeharto dengan personil TNI, akan kembali terulang apabila TNI kembali keluar barak untuk berhadapan dengan pengunjuk rasa untuk mengamankan kenaikan harga BBM.

Penulis : Kabid PTKP HMI FIS Unimed & Staf Pusham Unimed

Sabtu, 09 Juni 2012

Kebebasan Yang Intoleran

Oleh : Eka Azwin Lubis 

Empat belas tahun sudah reformasi di Indonesia terjadi. Semangat perubahan yang berorientasi pada jaminan kebebasan dan kedaulatan rakyat secara mutlak menjadi cita-cita bersama yang diusung oleh para pejuang reformasi dalam upaya menumbangkan rezim orde baru dibawah pimpinan presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun pasca tumbangnya rezim orde lama dibawah pimpinan presiden Soekarno. Bukan pekerjaan yang mudah bagi mereka yang ingin melepaskan republik ini dari belenggu kekuasaan otoriter dan mendambakan hidup dinegara yang menjamin kebebasan dan hak-hak rakyatnya. Sebab rintangan yang mereka hadapi adalah melawan rezim penguasa yang memiliki power luar biasa sehingga tidak tergoyahkan sampai 32 tahun masa kepemimpinan. Hal ini terbukti manakala rakyat sudah jenuh dengan pola pemerintahan yang diterapkan oleh rezim orde baru dan menginginkan perubahan yang lebih menjamin hak-hak mereka, segera pemerintah melakukan antisipasi ekstra untuk mengkerdilkan semangat perlawanan yang mulai menggelora. Tentunya masih segar dalam ingatan kita bagaimana tragedi trisakti, semanggi 1 dan semanggi 2 yang memakan korban jiwa dan harta benda akibat bentrokan yang terjadi antara demonstran dengan aparat keamanan yang berdalih ingin menjaga stabilitas keamanan negara hingga berakhir pada pendudukan secara paksa kantor DPR/MPR oleh mahasiswa yang menjadi motor dari semua pergerakan melawan rezim orde baru. Memang peristiwa-peristiwa itu bukanlah cerminan perjuangan untuk menumbangkan rezim soeharto secara keseluruhan, namun setidaknya itu merupakan klimaks dari semua pergerakan yang terjadi dihampir seluruh daerah di Indonesia yang pada akhrinya benar-benar berhasil menumbangkan pemerintahan orde baru dan terciptanya era reformasi. Cita-cita pejuang reformasi yang menginginkan jaminan akan kebebasan rakyat sebagai pemangku kedaulatan tertinggi negara ini seakan menemui titik terang setelah presiden Soeharto pada tanggal 21 mei 1998 secara resmi membacakan surat pengunduran dirinya dan digantikan oleh wakilnya BJ. Habibie. Praktis Indonesia pada saat itu seolah menatap era baru dalam menaungi dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebebasan rakyat yang selama masa orde baru sangat dikekang oleh penguasa meskipun telah dijamin oleh konstitusi, mulai dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari pasca reformasi. Peraturan-peraturan baru yang menjadi jaminan hukum bagi rakyat untuk mengekplorasi segala haknya terus bermunculan pasca tumbangnya rezim orde baru. Jika pada saat pemerintahan presiden Soeharto rakyat sangat dikekang dalam menyampaikan pendapatnya dimuka umum sebagai upaya untuk mengkerdilkan perlawanan rakyat, era reformasi justru menjamin kebebasan tersebut dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum bagi seluruh rakyat Indonesia selama tidak melanggar norma-norma dan kaidah hukum yang berlaku. Ini merupakan satu langkah awal yang memberi angin segar kepada masyarakat Indonesia untuk merasakan kehidupan yang benar-benar berdemokrasi dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Pers yang merupakan lumbung informasi juga mendapatkan hak akan kebebasannya dalam meliput, membuat, dan menyampaikan berita kepada masyarakat secara luas. Kehidupan mereka yang pada zaman orde baru sangat akrab dengan berbagai intervensi politik, seakan memasuki lembaran baru dalam menjalankan tugas jurnalistik setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers yang memberi kekuatan hukum dan menjamin hak-hak mereka dalam menjalankan tugas jurnalistik. Selain itu bobroknya pemerintahan orde baru yang diselimuti oleh hantu Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme karena minimnya pengawasan dan keterbukaan informasi yang dilakukan oleh pemerintah, mulai ditata ulang pada era reformasi. Transparansi dan akuntabilitas anggaran negara, kebijakan pemerintah, maupun segala hal yang menyangkut nasib rakyat menjadi satu sorotan tajam yang perlahan mulai diperbaiki oleh pemerintah dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik yang memberi ruang bagi rakyat untuk dapat mengikuti secara langsung berbagai kebijakan yang dibaut oleh pemerintah. Semua itu dilakukan sebagai upaya untuk menerapkan kehidupan berdemokrasi yang benar-benar berhaluan pada kedaulatan rakyat. Sampai-sampai presiden yang merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang dulunya dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara pada saat itu, kini pada era reformasi justru dipilih langsung oleh seluruh rakyat Indonesia yang telah memiliki hak pilih melalui pemilihan umum (Pemilu). Kebebasan rakyat dalam menggapai semua haknya yang dahulu dikerdilkan oleh pemerintah, perlahan mulai terealisasi oleh peraturan-peraturan baru yang dibuat pada era reformasi ini. Lebih Tepat Disebut Semi Reformasi Pasca era reformasi, hampir tidak adalagi yang namanya penangkapan misterius orang-orang yang berdemonstrasi yang dikahawatirkan menimbulkan provokasi publik, pembredelan media massa oleh pemerintah yang dianggap sebagai sumber pemicu keributan dan kekisruhan negara, atau maraknya tindakan–tindakan pemerintah yang mengacu pada manipulasi dana anggaran atau pembuatan kebijakan yang terkesan otoriter, karena semuanya kini telah diatur secara objektif melalui berbagai hirarki perundang-undangan guna meminimalisir tindak pengkerdilan demokrasi sesuai cita-cita reformasi. Namun ada hal urgen yang ternyata masih menggangu stabilitas dari cita-cita mulia reformasi tersebut yakni minimnya nilai toleransi yang justru terjadi ditengah-tengah masyarakat Indonesia meskipun hak-hak mereka kini semakin dijamin oleh hukum sehingga kebebasan mereka sebagai warga negara yang memangku kedaulatan tertinggi negara benar-benar terimplementasi. Hal ini terlihat dari bagaimana masyarakat kita kini masih mengalami sifat intoleransi antar sesamanya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Konflik horizontal yang diakibatkan berbagai perbedaan diantara masyarakat kita masih marak terjadi diera reformasi ini. Kemajemukan seolah menjadi musuh dalam mengarungi kehidupan negara yang katanya menjunjung tinggi semangat pluralisme ini. Perbedaan masih belum mampu diterima secara utuh oleh rakyat kita yang notabenenya terdiri dari beragam suku bangsa, agama, kepercayaan, budaya, dan adat istiadat. Hal ini terlihat dari banyaknya sengketa yang mewarnai era reformasi dewasa ini yang diakibatkan oleh perbedaan yang ada ditengah-tengah masyarakat kita. Mulai dari konflik agama yang belakangan mulai merebak ramai kepermukaan. Ahmadiyah yang dianggap sebagai aliran sesat justru diparangi secara tidak manusiawi oleh sesama umat islam yang menyatakan aliran tersebut harus dibubarkan. Atau konflik antara umat islam dan umat kristen di bogor mengenai keberadaan Gereja Kristen Indonesia Taman Yasmin yang membuat hubungan antar umat beragama sempat memanas akibat situasi konflik tersebut yang tak kunjung usai. Bukankan bangsa kita merupakan bangsa yang gemar berdialog atau bermusyawarah dalam menyelesaikan berbagai silang pendapat atau perbedaan yang ada sesuai isi butir keempat Pancasila. Lalu mengapa ketika ada golongan yang merupakan sesama anak negeri ini namun memiliki keyakinan yang sedikit berbeda justru diperangi secara brutal tanpa memandang kaidah-kaidah agama itu sendiri yang mengedepankan cinta kasih antara sesama manusia dan kedamaian bagi pemeluknya. Belum lagi peristiwa-peristiwa berdarah yang ditimbulkan akibat sengketa lahan yang sempat menyita perhatian nasional pasca terbongkarnya kasus penyiksaan di Mesuji Lampung yang diakibatkan oleh sengketa tanah ulayat dan disusul oleh tragedi Bima dengan kasus yang sama. Masih banyak lagi konflik-konflik horizontal yang terjadi di Indonesia pasca reformasi yang disebabkan oleh perbedaan pendapat atau selisih paham yang timbul ditengah-tengah masyarakat kita. Bukankah ini merupakan bentuk kebebasan yang intoleran dalam mengaplikasikan makna reformasi itu sendiri. Jika kita masih terus mengedepankan sikap intoleran dalam mewarnai kehidupan demokrasi diera reformasi ini, bukan hal yang berlebihan jikalau Indonesia dianggap sebagai bangsa yang hipokrit dalam mengimplementasikan cita-cita reformasi yang menjunjung tinggi kebebasan, kebersamaan, dan persaudaraan.

Mundur, Menunjukan Jiwa Besar dan Profesionalitas

Oleh : Eka Azwin Lubis

Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negeranya. Itulah kalimat yang tercantum dalam pasal 21 ayat 2 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ( DUHAM ) tahun 1948 yang menjadi dasar bagi semua manusia didunia ini memiliki hak yang sama untuk menjadi pejabat publik. Tak terkecuali di Indonesia bagaimana setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan untuk memangku jabatan apapun yang tidak bertentangan dengan dasar konstitusi. Apalagi Indonesia merupakan negara demokrasi yang menjunjung tinggi hak-hak rakyatnya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara. Hal ini terlihat dari bagaimana seorang Presiden yang merupakan Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan di Indonesia dipilih secara langsung oleh rakyat Indonesia melalui Pemilihan Umum yang digelar setiap lima tahun sekali. Tidak hanya dilembaga Eksekutif, pemerintahan dilembaga Legislatif juga menerapkan sistem pemilihan dengan demokrasi secara langsung. Para anggota Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang kesemuanya merupakan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR ) juga dipilih langsung oleh rakyat Indonesia yang tentunya sudah memiliki hak pilih. Sistem seperti ini tidak hanya berlaku ditingkat pemerintahan pusat, bahkan pemerintahan daerah juga menerapkan demokrasi secara langsung untuk memilih kepala daerah baik Gubernur maupun Walikota/Bupati sebagai kepala pemerintah Eksekutif daerah maupun anggota DPRD tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai pemerintah Legislatif daerah. Seorang Presiden yang terpilih untuk memimpin Indonesia dalam jangka waktu lima tahun kedepan memiliki hak prerogatif untuk menetukan siapa yang menjadi Menteri-Menteri dalam Kabinetnya. Presiden Indonesia saat ini, Soesilo Bambang Yudhoyono juga memiliki hak dan wewenang yang sama dalam memilih orang-orang yang dianggapnya mampu untuk menjadi Menteri yang memimpin Departement Kementrian, Non – Depatement Kementerian, maupun jabatan Setingkat Menteri. Para Menteri ini diharapkan mampu membantu kinerja Presiden dalam menangani bidangnya masing-masing. Oleh karena itu seharusnya seorang Menteri yang dipilih untuk berada dalam Kabinet merupakan orang yang betul-betul ahli dan Profesional dibidangnya sehingga Kabinet yang terbentuk merupakan Kabinet Zaken ( Kabinet Ahli). Namun yang terjadi saat ini justru berbeda dengan yang diharapkan, dimana mayoritas Menteri yang berada dalam Kabinet pemerintahan Presiden SBY yang telah berjalan hampir dua periode dan dinamakan Kabinet Indonesia Bersatu I dan II, diisi oleh orang-orang yang berkecimpung didalam partai-partai koalisi pendukung kemenangan SBY baik saat berpasangan dengan Jusuf Kalla maupun dengan Boediono. Ini mengindikasikan bahwa pos-pos Menteri yang ada merupakan jatah bagi para partai koalisi pendukung SBY saat kampanye untuk menjadi Presiden, sehingga pada akhirnya yang berada dalam Kabinet bukanlah orang-orang yang Ahli dan Profesional untuk membantu kinerja Presiden. Intervensi terhadap Presiden dalam memilih Menteri juga santer diberitakan. Kalau sudah begini yang namanya profesionalitas kerja tentu dinomor dua kan. Sebab bagi mereka yang terpenting adalah membagi kekuasaan meskipun kepada yang bukan ahlinya. Hal inilah yang dapat memicu terjadinya berbagai kemunduran yang dialami oleh masyarakat Indonesia diberbagai sektor karena yang memimpin negara bukanlah mereka yang mampu dan dapat mempertanggung jawabkan hasil kerjanya. Belum Siap Turun Jabatan Di Departemen Perhubungan misalnya, dimana kita melihat begitu banyak kecelakaan trasportasi baik laut, udara, maupun darat yang bertubi-tubi terjadi. Contohnya dari kecelakaan Pesawat tahun 2009 yang menewaskan 15 orang penumpang di Papua akibat Merpati Nusantara Airlines yang mereka tumpangi hilang dari peredaran dan Pesawat Cassa 212 yang jatuh di pegunungan Bahorok, Langkat baru-baru ini dan menewaskan semua penumpang dan kru pesawat yang menggambarkan buruknya jaminan keselamatan dalam penerbangan. Di trasnportasi laut dan darat hal yang sama juga sering kali terjadi, hal in dikarena transportasi di Indonesia ditangani oleh orang yang bukan ahli pada bidangnya. Freddy Numbery yang tadinya seorang Menteri Kelautan dan Perikanan pada Kabinet Indonesia Bersatu ( KIB ) jilid I, menjadi Menteri Perhubungan pada Kabinet Indonesia Bersatu jilid II menggantikan posisi Jusman Syafii Djamal. Pos Menteri yang ditinggalkan oleh Freddy ditempati oleh Fadel Muhammad yang justru berlatar belakang sebagai Gubernur Gorontalo. Pada KIB jilid I sendiri Menhub dijabat oleh Hatta Rajasa yang kemudian digantikan oleh Jusman Syafii Djamal pada Reshuffle ke 2 KIB jilid I pada tanggal 7 Mai 2007. Hatta Rajasa kemudian menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara ( Mensesneg ). Belum lagi masa bakti SBY diperiode kedua kepemimpinannya usai, Freddy Numberi sebagai Menhub kembali diganti oleh Ever Ernest Mangindaan sebagai Menhub yang baru sesuai hasil Resshufle pada tanggal 18 Oktober 2011. Meskipun telah berulang kali berganti Menteri Perhubungan, berulang kali pula kecelakaan trasportasi terjadi, dan tidak satupun dari mereka yang bersedia meletakkan jabatan untuk mempertanggung jawabkan berbagai kecelakaan trasportasi yang terjadi. Tidak hanya dikawasan Kemenhub, banyak lagi Pos Kementerian yang berulang kali tukar pemimpin tanpa memperhatikan kapasitas dan akuntabilitasnya berupa siap untuk mundur apabila kinerjanya jauh dari memuaskan. Hal lain yang dapat dijadikan contoh adalah Kementrian Hukum dan HAM yang harusnya bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran HAM yang belakangan marak terjadi, juga mengalami hal yang demikian. Hamid Awaluddin yang dipercaya menjadi Menkumhan pada KIB jilid I tidak dapat menuntaskan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi dimasa lalu. Begitu juga dengan penggantinya Andi Mattalata yang memangku jabatan Menkumham setelah Resshufle ke 2 KIB jilid I pada tanggal 7 Mai 2007. Yang lebih parah adalah Amir Syamsuddin yang menjadi Menkumham pada KIB jilid II menggantikan Patrialis Akbar pasca Resshufle tanggal 18 Oktober 2011, yang tidak siap untuk mengundurkan diri meskipun telah terjadi dua fenomena besar yang menyita perhatian publik karena tindak kekerasan yang mengindikasi pada terjadinya pelanggaran HAM yang dialami oleh warga Mesuji, Lampung dan Warga Bima, NTB. Kasus yang terakhir disebutkan ini masih hangat diperbincangkan menggantikan isu pembantaian warga di Mesuji, Lampung. Dimana pada Tanggal 23 Desember kemarin terjadi pemukulan dan penembakan aparat dalam pembubaran demo di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat. Demo ini berawal dari tuntutan warga agar Bupati Bima mencabut izin yang diberikan kepada PT SMN dan PT IMCP untuk penambangan emas di Kecamatan Lambu dan Kecamatan Sape, Bima, NTB. Namun pihak kepolisian yang seharusnya mengawal dan memediasi para pendemo justru bertindak brutal dengan memukul dan menembak warga yang mengakibatkan dua warga Bima meninggal dunia yakni Arif Rahman dan Syaiful dan belasan warga lainnya luka akibat terkena peluru aparat kepolisian. Selain pihak Kemenkumham yang harus bertanggung jawab atas insiden ini, Polri juga harus siap pasang badan untuk mempertanggung jawabkan tindakan para personilnya tersebut. Timur Pradopo yang merupakan pemimpin tertinggi Kepolisian di Republik ini juga harus siap untuk mengundurkan diri apabila beliau tidak mampu untuk mempertanggung jawabkan tindakan anggotanya. Beliau memegang jabatan sebagai Kapolri sejak tahun 2010 setelah diusulkan oleh Presiden SBY kepada DPR RI selaku calon Kapolri. Dia menyisihkan Komjen Pol Nanan Soekarna dan Komjen Pol Imam Sudjarwo yang sebelumnya menjadi kandidat kuat calon Kapolri. Sebab suka atau tidak suka, Hak setiap warga negara harus dijamin dan dilindungi seutuhnya oleh negara. Jangan jusru para aparatur negara yang malah mengabaikan hak-hak setiap warga negara. Dan apabila hal ini terjadi, maka oknum-oknum yang berwenang harus siap untuk menanggalkan jabatannya sebagai bentuk rasa tanggung jawab dan menunjukan sikap profesionalisme seorang negarawan. Kita masih ingat bagaimana Naoto Kan mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri Jepang karena beliau merasa tidak mampu untuk mengemban amanah rakyat Jepang. Jiwa besar seperti inilah yang kita rindukan dari para pemimpin negeri yang rela melepaskan jabatannya akibat tidak terealisasinya kesejahteraan dan keamanan rakyat semasa kepemimpinannya.

Kamis, 07 Juni 2012

Makalah LK - II Pandeglang





ORIENTASI DAN REALITA KADER HMI 


 ( Degradasi Idealisme & Responsif Kader ) 
1. Pendahuluan
       a. Latar Belakang
     Islam merupakan agama yang rahmatan lil alamin dan satu-satunya agama yang diridhoi oleh Allah bagi setiap insan manusia yang ada didunia. Karena islam senantiasa mengajarkan kebajikan kepada umat manusia dan mengatur kehidupan mereka sesuai dengan fitrahnya sebagai pemimpin dimuka bumi. Hal inilah yang membuat manusia dalam menjalankan hidup harus senantiasa berpedoman pada Al-qur’an dan Al-hadits. Sehingga sudah sewajarnya ini yang menjadi landasan bagi manusia untuk mensyukuri setiap nikmat yang diberikan oleh Allah, termasuk nikmat untuk hidup. Manusia sendiri secara hakikatnya merupakan mahluk yang diciptakan Allah sebagai pemimpin didunia karena telah diberikan anugrah berupa akal pikiran dan hawa nafsu yang tentunya tidak dimiliki oleh mahluk hidup lain. Manusia juga merupakan mahluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, sehingga dari itu sesuai dengan sifat kodratinya manusia juga harus hidup secara tolong menolong. Hidup seimbang antara dunia dan akhirat, menyesuaikan kepentingan individu dan kelompok, serta dapat mengatur keseimbangan iman yang merupakan prinsip abadi, ilmu yang merupakan kendaran diri dan amal yang merupakan bekal yang hakiki adalah kriteria seorang mukmin sejati. Oleh sebab itu dalam hidupnya manusia diberikan akal oleh Allah untuk dapat berfikir dan belajar sehingga tidak menjadi orang – orang yang merugi dunia dan akhirat. Dalam proses belajar itu sendiri, manusia dihadapkan pada beberapa kesempatan yang senantiasa dapat memberikan ilmu pengetahuan dalam hidupnya, dimulai dari lingkungan keluarga yang merupakan arena belajar awal sebelum seorang manusia terjun ke dunia pendidikan formal. Setelah lingkungan keluarga, maka setiap manusia berhak menerima pendidikan formal disekolah hingga jenjang perguruan tinggi. Dalam hal ini Negara juga menjamin hak tersebut yang diatur dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang pendidikan. Jika kita bicara pendidikan formal, maka diantara hal yang paling urgen adalah manakala seseorang itu telah berstatus sebagai mahasiswa dan mulai dikategorikan sebagai manusia intelektual. Status inilah yang coba kita linier kan dengan substansi dasar tujuan dari seseorang itu menuntut ilmu sehingga perlahan akan mengalami perubahan. Hal ini dikarenakan dalam menjalani hidupnya manusia senantiasa mengalami perubahan. Begitu juga dengan halnya pendidikan, dimana seorang insan harus senantiasa berubah dalam menuntut Ilmu, tidak hanya taraf berfikir yang semakin bertambah dan membuat manusia semakin cerdas, tetapi juga jenjang pendidikan yang jika kita bicara pendidikan formal dimulai dari seseorang itu berstatus siswa hingga puncaknya dikala seseorang itu berstatus mahasiswa baik di strata pertama maupun selanjutnya. Karena islam merupakan agama yang menuntut umatnya harus menjadi orang yang cerdas. Jika kita bicara Mahasiswa, maka menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan pasal 19, mahasiswa adalah hanya sebatas sebutan akademis untuk siswa/ murid yang telah sampai pada jenjang pendidikan tertentu dalam masa pembelajarannya. Sedangkan secara harfiyah, Mahasiswa terdiri dari dua kata, yaitu ” Maha ” yang berarti tinggi dan ” Siswa ” yang berarti subyek pembelajar. Jadi dari segi bahasa “ Mahasiswa ” diartikan sebagai pelajar yang tinggi atau seseorang yang belajar di perguruan tinggi/ universitas. Namun jika kita memaknai Mahasiswa sebagai subyek pembelajar saja, amatlah sempit pemikiran kita, sebab meski ia disebut Mahasiswa maka diikat oleh suatu definisi study, akan tetapi mengalami perluasan makna mengenai eksistensi dan peran yang dimainkan dirinya. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, Mahasiswa tidak lagi diartikan hanya sebatas subyek pembelajar ( study ), akan tetapi ikut mengisi definisi learning. Mahasiswa adalah seorang pembelajar yang tidak hanya duduk di bangku kuliah kemudian mendengarkan tausiyah dosen, lalu setelah itu pulang dan menghapal di rumah untuk menghadapi ujian tengah semester atau Ujian Akhir semester. Mahasiswa dituntut untuk menjadi seorang ikon-ikon pembaharu dan pelopor-pelopor perjuangan yang respect dan tanggap terhadap isu-isu sosial serta permasalahan umat dan bangsa. Apabila kita flash back melihat sejarah, peran mahasiswa acapkali mewarnai perjalanan bangsa Indonesia, mulai dari penjajahan hingga kini masa reformasi. Mahasiswa bukan hanya menggendong tas yang berisi buku, tapi Mahasiswa turut angkat senjata demi kedaulatan bangsa Indonesia. Dan telah menjadi rahasia umum, bahwasanya Mahasiswa lah yang menjadi pelopor restrukturisasi tampuk kepemimpinan NKRI pada saat reformasi 1998. Peran yang diberikan mahasiswa begitu dahsyat, sehingga sendi-sendi bangsa yang telah rapuh, tidak lagi bisa ditutup-tutupi oleh rezim dengan status quonya, tetapi bisa dibongkar dan dihancurkan oleh Mahasiswa dari berbagai latar belakang, termasuk mereka yang mayoritas beragama islam.
        b. Tujuan Penulisan
       Mahasiswa – mahasiswa yang merupakan kaum pembaharuan dianggap mampu menjadi motor pergerakan demi terwujudnya kemaslahatn umat secara universal. Sebab pola fikir masyarakat selalu berorientasi bahwa mahasiswalah yang mampu mengakomodir segala keluhan yang dialami masyarakat dan memberikan input kepada penguasa. Salah satu wadah yang merupakan tempat berhimpunanya mahasiswa yang beragama islam dan memiliki satu cita – cita mulia untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur serta diridhoi Allah adalah Himpunan Mahasiswa Islam ( HMI ). Himpunan Mahasiswa Islam ( HMI ) sendiri merupakan organisasi kemahasiswaan yang berasas islam dan berlandaskan pada al-qur’an dan al-hadits yang tertua di Indonesia. HMI berdiri pada tanggal 14 Rabbiul awal 1366 atau bertepatan dengan 5 februari 1947 di Sekolah Tinggi Islam ( STI ) yang kini bernama Universitas Islam Indonesia ( UII ) tepatnya dikota Yogyakarta dan merupakan wadah bagi setiap Mahasiswa islam yang diharapkan mampu menjadi generasi muda penerus peradaban bangsa yang di ridhoi Allah. Adapun latar belakang berdirinya HMI adalah melihat dan menyadari keadaan kehhidupan Mahasiswa yang beragama islam pada saat itu yang pada umumnya belum memahami dan mengamalka ajaran agamanya yang merupakan ajaran yang haq lagi sempurna seperti yang telah dijelaskan diatas. Keadaan yang demikian merupakan akibat dari sistem pendidikan dan kondisi kehidupan masyarakat pada saat itu. Oleh karena itu perlu dibentuk organisasi sebagai wadah untuk mengubah keadaan tersebut. Organisasi yang didirikan oleh Lafran Pane ini diharapkan mampu untuk menyesuaikan diri dengan pola fikir Mahasiswa islam yang selalu menginginkan inovasi dan perubahan dalam segala bidang, termasuk pemahaman dan penghayatan agamanya yang menuntut tanggung jawab akan akal fikiran yang dianugrahkan agar dapat dimanfaatkan untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur serta diridhoi Allah. Oleh sebab itu HMI melalui kader – kadernya diharapkan juga harus berperan aktif baik kedalam maupun keluar dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang saat itu baru berusia dua tahun. Maka HMI mencoba untuk berperan aktif dalam menjalankan panji-panji roda pemerintahan yang menganut sistem demokrasi dalam bernegara yang memang terbuka bagi seluruh rakyat Indonesia karena Maka dari itulah HMI yang pada dasarnya memiliki kader-kader yang potensial dan bermilitansi tinggi mulai diperhitungkan dalam menjalankan birokrasi pemerintahan. Apalagi HMI bukanlah oreganisasi asal-asalan yang dibentuk memang untuk menciptakan dan membina Mahasiswa - Mahasiswi Islam yang cerdas, berani, berguna dan memiliki dedikasi tinggi terhadap bangsa, peduli terhadap kondisi umat, peka terhadap kehidupan rakyat dan yang terpenting adalah taat kepada ALLAH sang pencipta seperti yang dijelaskan pada Pasal 4 Konstitusi HMI tentang tujuan HMI yang berbunyi “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Subhanahu Wata ’ala“

2. Tinjauan Pustaka
       Indonesia yang merupakan negara kesatuan telah menetapkan Demokrasi selaku haluan sistem pengelolaan kenegaraan. Sehingga semua pihak yang merupakan warga negara Indonesia berhak untuk ikut berpartisipasi dalam sistem pemerintahan. Sebab Demokrasi adalah suatu pemerintahan dimana rakyat ikut serta memerintah (mederegeren), baik secara langsung yang terdapat pada masyarakat-masyarakat yang masih sederhana (Demokrasi Langsung) maupun secara tidak langsung seperti yang terdapat dalam negara-negara modern. Begitu juga halnya HMI yang merupakan wadah bagi insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah. Sehingga dalam pola pengkaderan selalu ditekankan bagaimana seharusnya seorang anggota biasa HMI itu menanggapi realita demokrasi Indonesia yang masih belum konsekuen dalam penerapannya karena masih banyak kita temui pola – pola sentralistik. Dan solusi cerdas harus siap diberikan oleh para kader – kader HMI. Apalagi Hal ini diikuti oleh kebutuhan untuk memperbaiki hukum dan ketertiban, menghilangkan ketegangan, dan peperangan sipil, dan mempromosikan ideal demokrasi didalam sistem politik pemerintahan yang nantinya diharapkan akan memperhatikan prioritas domestik termasuk akses kepada sistem pendidikan yang lebih baik untuk membasmi butah huruf dan kebodohan serta meraih kesetaraan gender, keadilan sosial, dan kebebasan beragama. Yang saat ini belum sepenuhnya terealisasi di Indonesia. Sehingga inilah sebenarnya pembelajaran sesungguhnya bagi seorang kader untuk menempa jiwa responsif dan kepedulian mereka dalam menghadapi tantangan birokrat yang belum bersahabat dengan kemakmuran rakyat luas. Oleh sebab itulah kader HMI seperti dijelaskan diatas harus mampu memberikan angin segar kepada masyarakat yang bosan dengan kehidupan yang kurang bersahabat ini. Maka perlahan rasa kepercayaan mereka terhadap pemerintah mulai terkikis. Apalagi jika saat ini kita melihat tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah sangat minim. Sebagai contoh jika kita mencermati fenomena rakyat yang tidak puas dengan kinerja DPR yang merupakan wakil mereka, hal ini bisa dilihat sebagai indikasi adanya komunikasi dan pemahaman yang tidak berimbang antara legislatif dan rakyatnya. DPR yang seharusnya mengevaluasi sejauhmana sistem komunikasi yang telah dibangun selama ini dilaksanakan, terutama dengan sistem dengar pendapat. Disinilah seharusnya kader HMI dapat mengambil moment sebagai kaum terpelajar untuk menjembatani segala keinginan rakyat dengan cara berkomunikasi dengan anggota DPR secara intensif untuk mengubah gaya pemerintahan yang hanya memikirkan kepentingan individu semata. Sehingga dengan berubahnya gaya pemerintahan ini diharapkan keadilan dan kemakmuran masyarakat dapat terwujud. Sebab salah satu contoh adalah supremasi hukum merupakan harapan yang tak kunjung terwujud di Indonesia. Tampaknya hukum hanya ampuh untuk orang miskin dan bodoh, tetapi sangat tumpul terhadap penguasa dsn pengusaha. Maka Bukan hal yang naif jika kita merasa bahwa sistem pemerintahan saat ini dapat diubah dengan perhatian dan kontroling yang ekstra terutama oleh kader HMI yang merupakan kaum terpelajar yang cerdas dan berorientasi pada kemaslahatan masyarakat. Masyarakat juga harus siap untuk menerima perubahan kerana penyimpangan dalam satu negara juga tidak semata – mata selalu dilakukan oleh pihak pemerintahan. Karena tidak jarang masyarakat – masyarakat jahat juga terlibat dalam tindakan-tindakan yang merugikan orang lain demi kepentingan pribadi atau kelompoknya semata tanpa memikirkan nasib orang lain. Tindakan – tindakan brutal terkadang menghiasi kehidupan bangsa karena ulah sekelompok masyarakat yang berbuat tindak kriminal yang beragam. Hal inilah yang disebut sebagai kejahatan terorgaisir. Sebagaimana korupsi, kejahatan terorganisir merupakan prevalensi dalam masyarakat yang dicirikan oleh pertemanan dan patrimonialisme. Lalu jangan pernah berfikir bahwa keadaan pemerintahan dan masyarakat yang sekarang ini sudah mentok tanpa bisa diperbaiki. Karena Tidak ada satu individu dan masyarakat yang dapat luput dari suatu perubahan. Perubahan adalah suatu keharusan, karena diinginkan atau tidak perubahan itu mutlak terjadi. Oleh sebab itu perubahan demi kemajuan bangsa merupakan tugas kita semua baik pemerintah maupun rakyat. Dan peran kader HMI adalah sebagai wadah bagi mereka yang tidak memahami pola perubahan sosial yang memang sulit dimengerti, jangankan oleh rakyat awam, tetapi juga oleh para oknum pemerintah yang memang banyak kurang memahami orientasi perubahan demi keadilan dan kemakmuran masyarakat.

3. Pembahasan 
             a. Orientasi Kader
       Dalam menghadapi perubahan sosial dan dinamika politik Indonesia seiring bergantinya beberapa sistem pemerintahan dari mulai orde lama, orde baru, hingga saat ini zaman reformasi, HMI tetap eksis dalam menciptakan kader-kader yang potensial dan bermilitansi tinggi terhadap organisasi dan negara sesuai dengan isi pasal 4 konstitusi yang telah dijelaskan diatas. Hal ini terbukti dari hingga saat ini HMI lah organisasi keislaman yang memiliki basis masa terbesar dan jaringan terluas di Indonesia. Namun harus kita akui pula bagaimana karakter kader – kader HMI pada saat ini yang perlahan mulai meninggalkan jiwa idialisnya sebagai kaum intelek yang terbina untuk menciptakan kemaslahatan umat dan bangsa yang berpegang teguh pada prinsip – prinsip islam. Hal ini dikarenakan beralihnya haluan orientasi sebahagian kader yang telah berfikir pragmatis demi mendapat satu eksistensi individu dengan mengenyampingkan kepentingan organisasi dan rakyat luas. Dimulai dari bagaimana kita acap kali melihat kader – kader yang tidak peka lagi terhadap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat yang mengalami satu kebuntuhan sosial akibat birokarsi yang dijalankan oleh penguasa negeri sering kali tidak berpihak pada mereka. Kader HMI yang notabenenya adalah Mahasiswa yang terbina dan memiliki kecerdasan sosial yang bertugas sebagai wadah mediasi antara mayarakat yang tertindas dengan pemerintah, justru tidak menunjukan jati dirinya sebagai kaum yang siap mengabdi kepada masyarakat sesuai tujuan dari HMI itu sendiri. Hal ini terbukti dari realita yang terjadi, satu contoh yang dekat adalah bagaimana kader HMI belum mampu memberikan input kepada pemerintah pusat untuk segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) mengenai kewenangan Daerah diwilayah laut sesuai amanat Undang – Undang Nomor 22 tahun 1999 tantang Pemerintaha Daerah. Otonomi Daerah memberikan wewenang kepada Provinsi untuk mengelola wilayah Darat dan Wilayah Laut. Sehingga apabila PP itu segera di keluarkan maka para nelayan yang berada didaerah dapar memanfaatkan kekayaan alam laut sesuai prosedur yang dibuat oleh kepala daerah yang dekat dan mengerti dengan apa yang harus mereka perbuat seperti eksplorasi, eksploitasi, dan konservasi dan apa diinginkan oleh nelayan didaerahnya. Dan pada akhirnya keadaan laut yang telah menjadi tanggung jawab pemda dapat dijaga dan dilestarikan dengan baik. Karena jika semua diatur secara sentralistik maka lautan Indonesia yang sangat luas akan kurang terperhatikan karena minimnya jumpal personil negara yang tersentral dalam menjaga kelautan dan berdampak pada buruknya pendapatan dari hasil kinerja nelayan yang selalu kalah disegi perlengkapan oleh nelayan asing yang senantiasa mencuri kekayaan biota laut Indonesia. Namun hingga saat ini PP mengenai Kewenangan Daerah di wilayah laut belum juga dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal berdasarkan Pasal 132 ayat 1 ketentuan pelaksanaan sebagai tindak lanjut undang – undang ini sudah harus selesai selambat – lambatnya satu tahun semenjak undang – undang ini ditetapkan. Dari satu contoh real tentang permasalahan yang urgen ini kader HMI seharusnya dapat mengambil sikap dengan memberikan input dan presser kepada pemerintah untuk segera mengeluarkan PP tersebut. Agar tidak terjadi lagi pencurian ikan yang dilakukan oleh pihak asing akibat kurang perhatiannya pemerintah pusat dalam mengontrol laut Indonesia yang teramat laus dan berakibat pada penderitaan yang dialami oleh nelayan lokal yang memiliki peralatan minim dalam mencari nafkah. Apabila kader HMI mampu menjadi motor pergerakan dalanm mendorong pemerintah akan hal ini, bukan tidak mungkin pemerintah daerah yang nantinya memiliki kewenangan untuk menjaga wilayah laut didaerahnya masing – masing akan lebih memperhatikan nasib para nelayannya yang selama ini jauh dari kesejahteraan dikarenakan kurangnya perhatian pemerintah akan nasib mereka. Sekali lagi harus diakui bahwa realita keadaan mayoritas kader justru sangat jauh dari misi pergerakan dan perjuangan yang mengedepankan terwujudnya masyarakat yang sejahtera dan hidup makmur. Karena pada dasarnya saat ini mayoritas kader lebih mengedepankan sisi akademisi yang mereka jalani demi tercapainya targetan – targetan pribadi. Sehingga hal – hal yang bersentuhan dengan nasib rakyat harus dikesampingkan karena mereka beranggapan bahwa tujuan utama mereka adalah menuntut ilmu demi tercapainya gelar sarjana yang akan disandang. Sementara HMI hanyalah sekedar organisasi untuk wadah menambah koneksi dan persahabatan tanpa berfikir apa sebenarnya substansi seorang kader itu sendiri yang harusnya memberikan pengabdian kepada masyarakat luas tanpa harus mengenyampingkan tugas akademisi yang harus berjalan seimbang dengan prilaku mulia yang pro rakyat dan siap terjun demi memeprjuangkan hak – hak rakyat. Meskipun pola pengkaderan hingga saat ini masih mengedepankan rasa solidarisme sesama mahluk sebangsa, namun agaknya hal tersebut hanya menjadi formalitas belaka tanpa diikuti oleh implementasi nyata oleh sebahagian kader yang berfikiran pragmatis tadi. Karena mau tidak mau pola pengkaderan yang disiplin tersebut harus tetap dilalui demi status yang akan didapat seorang mahasiswa sebagai kader HMI. Namun setelah itu mengenai penerapan dan aplikasi dari apa yang didapat semasa basic training kembali lagi pada pribadi masing – masing bagaimana menyikapinya. Yang saat ini mayoritas disikapi dengan dingin tanpa ada rasa memiliki tanggung jawab akan seorang insan akademis yang berperan demi terwujudnya kemaslahatan umat yang diridhoi Allah. Padahal jika kita melihat apa yang sebenarnya menjadi harapan dan impian umat islam saat ini, maka kita akan menemui jawaban yang menuntut tanggung jawab dan peran aktif kita sebagai insan – insan akademisi yang cerdas dan bernafaskan islam untuk membantu merealisasikan semua mimpi saudara – saudara kita yang tentunya dengan izin Allah. Karena saat ini kaum muslim menghadapi banyak permasalahan dan keprihatinan yang sama dengan orang lain. Ketika ditanya mengenai harapan dan impian mereka, banyak responden pertama – tama menyebutkan permasalahan ekonomi. Mereka menginginkan Kondisi ekonomi yang lebih baik, kesempatan kerja, standart hidup yang lebih baik demi masa depan yang lebih baik lagi. Bukankah ini merupakan tugas kita selaku kader HMI yang mengaku peka dan toleransi terhadap nasib rakyat apalagi yang satu kaidah dengan kita. Ekonomi yang senantiasa menjadi leader dalam permasalahan umat seolah menjadi beban yang sulit diselesaikan. Namun bukan berarti dengan daya fikir dan semangat idealis kita yang telah ditempah sebagai mahasiswa yang berorientasi pada kesejahteraan umat, permasalah klasik tersebut perlahan–lahan akan terkikis dengan management konsep yang kita ciptakan. Selain masalah ekonomi, masih banyak lagi masalah–masalah pelik yang menunggu kesadaran dan partisipan kader HMI yang ditempa militan dan responsif dalam membantu dan bertanggung jawab akan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur serta di ridhoi Allah. Kasus pelanggaran HAM yang mulai santer terdengar lagi kepermukaan, senantiasa menghiasi pemberitaan untuk konsumsi publik. Negara yang seharusnya menjadi lembaga yang bertanggung jawab akan perlindungan dan penegakan HAM bagi setiap rakyatnya, justru bertindak brutal dan acuh dalam menanggapi permasalahan HAM. Disini sekali lagi dituntut kepekaan dari kader yang seyogyanya berjiwa sosialis dan menjunjung tinggi pri kemanusiaan untuk segera tanggap dalam menyelesaikan kasus–kasus ini dengan cara mendorong pemerintah agar lebih peduli terhadap hak–hak kodrati rakyatnya dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak perlu untuk berfikir terlalu lama untuk berbuat hal yang insyaallah mulia dan ditekankan oleh HMI. Karena jika bukan kita yang respon dan peduli terhadap nasib mereka, praktis hampir tidak ada lagi yang mau tau tentang apa yang sebenarnya dialami oleh masyarakat miskin karena semuanya telah ternyamankan dengan kepentingannya masing – masing sehingga merasa tidak perlu untuk melakukan perbuatan–perbuatan mulia. Padahal selain islam menuntut rasa persaudaraan dan saling tolong menolong, HMI sebagai wadah kita juga dengan jelas memerintahkan untuk senantiasa bertanggung jawab serta berperan aktif dalam menciptakan kemaslahatan umat manusia yang di ridhoi oleh Allah dan meyakini bahwa setiap hal yang kita lakukan mulia dan tujuan yang mulia tersebut pasti berhasil dengan izin Allah. Sehingga sebagai kader yang ditempah dengan baik, kita harus mampu menunjukan eksistensi kita layaknya seorang kader yang diimpikan oleh pasal 4 konstitusi HMI.
       b. Realita Militansi Kader
      Agaknya perubahan zaman juga mulai berpengaruh pada kondisi psikologis kader – kader HMI yang diharapkan mampu menjadi penyeimbang antara kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah dengan kesengsaraan yang dialami masyarakat agar tidak terlalu senjang dalam realita kehidupan yang nantinya dikhawatirkan akan menimbulkan konflik horizontal antar sesama rakyat Indonesia. Kader HMI yang senantiasa dinaungi rasa tanggung jawab akan keadilan dan kemakmuran yang tercipta ditengah kehidupan masyarakat yang di ridhoi Allah, perlahan mulai lupa akan tugas dan jati diri mereka sebagai kaum intelek yang bernafaskan islam dan peduli akan sesama. Hal tersebut bukanlah ispan jempol belaka, saat ini kita melihat banyak kader yang tidak respon dan peduli terhadap berbagai fenomena sosial yang menimpa masyarakat sehingga menggangu kenyamanan dan ketentraman hidup mereka. Seperti kita lihat dimana Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau mencapai 17.504 buah, dimana 7.870 di antaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 belum memiliki nama. Dan ini merupakan satu fakta yang menunjukan betapa besar dan luasnya tanah yang dimiliki oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagaimana tidak, dari jumlah pulau yang mencapai 17.504 buat tersebut, luas total daratan yang dimiliki Indonesia mencapai 1.922.570 km² dimana 1.829.570 km² merupakan daratan non-air dan 93.000 km² adalah daratan yang berair. Namun fakta yang terjadi adalah sengketa tanah yang tak kunjung usai jaga senantiasa terjadi di Indonesia. Bahkan belakangan gara – gara konflik tanah, negara terindikasi telah melakukan pelanggaran HAM karena telah melakukan tindakan brutal terhadap rakyat Mesuji, Lampung yang menolak lahan mereka di jadikan lahan kelapa sawit oleh pihak perusahaan swasta, dan warga Bima, NTB yang menolak daerahnya dibangun pertambangan karena takut akan terjadi pencemaran ekosistem. Namun pemerintah melalui aparat kepolisian merespon hal tersebut dengan tindakan brutal yang menelan korban jiwa. Dari kejadian diatas, disini dituntut bagaimana seharusnya kader HMI menyikapi masalah ini dengan melakukan tindakan solidarisme yang dilakukan secara serentak agar pemerintah juga meresponnya dengan serius. Seluruh kader HMI lah yang harus dapat mendermakan kemampuannya secara sukarela dan ikhlas demi terwujudnya keadilan dan kemakmuran hidup masyarakat yang diridhoi Allah. Namun yang terjadi justru hanya segelintir kader yang peduli akan hal ini dengan menggelar aksi solidarisme terhadap korban kekerasan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak semua kader saat ini merasa terpanggil untuk memenuhi tanggung jawab mereka sebagai insan akademis yang siap mengabdi terhadap keadilan dan kemakmuran masyarakat yang diridhoi oleh Allah SWT. Lalu dimana lagi letak orientasi kader yang mengaku sebagai mukmin yang cerdas serta bertanggung jawab akan kemaslahatan umat.
       c. Minimnya Kepedulian Kader
      Sepertinya rasa peduli terhadap sesama tidak lagi dimiliki oleh semua kader HMI saat ini karena berbagai pengaruh perkembangan yang terjadi. Seperti kasus diatas dimana kader HMI yang seharusnya peka dan bertanggung jawab untuk mendorong pemerintah untuk melakukan tindakan yang pro rakyat, justru hanya dilakukan oleh segelintir kader sehingga tidak dapat berpengaruh banyak terhadap kebijakan yang dibuat. Belum lagi jika kita melihat bagaimana ketimpangan sosial yang kerap kali terjadi dalam proses hukum di Indonesia. dimana para koruptor yang notabenenya telah mencuri uang rakyat dapat menikmati fasilitas mewah meskipun dalam proses menjalani hukuman, sementara rakyat kecil yang melakukan tindakan kriminal akibat lilitan kemiskinan yang menimpa mereka justru selalu ditindak tegas tanpa ampun. Seperti yang terjadi bagaimana Artalita Suryani tersangka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang mendapat fasilitas mewah berupa ruang tahanan yang dimodif ala kamar hotel bintang lima yang dilengkapi dengan berbagai layanan yang menjadi kebutuhan sang napi. Atau kisah dari tersangka kasus korupsi di Kantor Pajakan Gayus Tambunan yang saat ditahan justru bisa pelesiran ke bali untuk menonton pertandingan tenis Internasional, bahkan pergi keluar negeri dengan uang yang dia miliki hasil dari korupsi yang ia lakukan. Selain itu isu yang paling sering terjadi tentang pelayanan ekstra para napi berdasi ini adalah izin berobat yang senantiasa menjadi jurus ampuh bagi mereka yang tersandung masalah korupsi. Cara ini merupakan hal klasik yang selalu digunakan oleh koruptor sebagai upaya menunda-nunda persidangan yang berakhir pada terbenamnya kasus mereka dikemudian hari. Dimulai dari Sjamsul Nursalim tersangka kasus penyimpangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) II atau kasus Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) dimana Bank ini menerima kucuran dana sebesar Rp28,4 triliun dari program BLBI. Dalam panggilan ketiga Kejagung, Sjamsul yang sedianya akan dimintai keterangan seputar negosiasi dalam perjanjian Master Settlement for Acquisition Agreement (MSAA) dengan Badan Pengawas Perbankan Nasional (BPPN) melalui kuasa hukumnya Maqdir Ismail dan Eri Hertiawan, menyatakan tidak bisa hadir karena sedang menjalani pengobatan di luar negari setelah pada dua panggilan sebelumnya dia juga tidak menghadiri persidangan. Hingga saat ini kasus tersebut belum menemukan titik terang dalam penyelesaiannya, bahkan sempat tersiar kabar bahwa Sjamsul saat ini telah menjadi buronan walaupun kabar tersebut dibantah oleh pihak Kejagung. Dilanjutkan pada kasus yang tak kalah ironis bagaimana seorang tersangka tipikor yang merugikan negara Rp 40,75 miliar bernama Syaukani yang merupakan mantan Bupati Kutai Kartanegara, mendapat grasi dari Presiden SBY dan atas petimbangan MA masa tahanannya dikurangi tiga tahun karena yang bersangkutan menderita sakit parah dan berakibat pada bebasnya sang koruptor. Patrialis Akbar yang saat itu menjabat sebagai Menkumham memberikan penjelasan bahwa dasar dari pemberian grasi tersebut adalah alasan kemanusiaan. Namun Ketika ditanya soal grasi yang diberikan MA terlalu besar, Patrialis tidak mau berkomentar banyak, beliau hanya menyatakan Itu merupakan keputusan MA dan pemerintah hanya menjalankannya. Dan yang terbaru dan masih hangat adalah kasus yang menimpa istri mantan Wakapolri Adang Daradjatun, Nunun Nurbaiti yang tersandung masalah kasus cek pelawat dan ditahan di rutan Pondok Bambu. Nunun yang sebelumnya menghuni Paviliun Dahlia ruang 112 bersama puluhan napi wanita lainnya, dipindahkan keruang 14 bersebelahan dengan Melinda Dee, tersangka kasus Citibank, karena Nunun berulang kali menderita sakit dan harus dirujuk kerumah sakit. Hingga pada saat ini ia hanya tinggal berdua dalam satu ruangan dengan Heni Farida tersangka kasus pemalsuan surat yang tentunya lebih nyaman dibanding ruang tahanan sebelumnya. Namun hal ini berbanding terbalik dengan yang dialami oleh rakyat kecil yang dihukum karena tindakan kriminal mereka yang dilakukan akibat kemiskinan yang dialami seperti yang terjadi pada Nenek Minah, seorang tua berusia 55 tahun yang harus menerima kenyataan pahit akibat perbuatan isengnya memetik 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) dan akibat perbuatannya itu dia diganjar 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan. Selain kasus sepele yang berakibat panjang yang dialami Nek Minah tadi, masih banyak kasus serupa yang juga menimpa para rakyat msikin yang menjadi sasaran penegakkan hukum secara tegas. Seperti yang dialami Basar (40) dan Kholil (51) warga Kediri yang akibat kemiskinan mereka nekat mencuri semangka dan berujung pada ditahannya kedua orang tua ini. Atau kasus yang terjadi di Sidoarjo, dimana Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo, Jawa Timur, memvonis 100 hari kurungan penjara terhadap terdakwa Puguh Irawan (24). Terdakwa dinyatakan terbukti melanggar pasal 363 KUHP setelah mencuri setandan pisang milik Soni Lukmanto, warga Desa Bluru, Kecamatan Sidoarjo. Yang terbaru adalah Kasus pencurian sandal jepit seharga Rp 30 ribu yang dilakukan pelajar Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Palu, di Jalan Tanjung Santigi, Palu Selatan, Sulawesi Tengah, AAL (15) yang saat ini kasusnya sudah sampai ke pengadilan. Sekali lagi kader – kader HMI yang diamanahkan sebagai insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Subhanahu Wata ’ala, agaknya mengalami penurunan orientasi karena belum mampu menunjukan eksistensinya berupa kepedulian akan realita yang dialami oleh masyarakat Indonesia yang senantiasa mengalami ketimpangan sosial dalam menjalani hidup. Padahal kejadian – kejadian tersebut harusnya menjadi tugas kita untuk peduli terhadap sesama karena islam selalu mengajarkan rasa peduli demi terwujudnya keadilann dan kemakmuran mayarakat yang diridhoi Allah.

4. Penutup
          a. Kesimpulan
       Islam merupakan agama yang menerapkana ajaran yang haq dan sempurna sebagai landasan hdup bagi setiap insan manusia. Manusia yang merupaka khalifah dimuka bumi karena memiliki kelebihan berupa akal fikiran dan hawa nafsu sehingga dapat membedakan mana yang hal dan bathil harus senantiasa mengucapkan syukur kepada Allah atas berbagai nikmat dan karunia yang telah Allah berikan, sehingga manusia dapat hidup bahagia dunia dan akhirat. Dalam hal mencapai kebahagiaan akhirat, manusia yang telah diberi akal dituntut untuk menjadi cerdas dengan jalan selalu menuntut ilmu agar mengetahui segala sesuatu yang belum diketahui. Sebagai contoh adalah Mahasiswa Indonesia yang beragam islam, ada wadah pendidikan diluar kelas yang dapat menempah kemampuan berfikir dan kepeduli terhadap sesama yakni Himpunan Mahasiswa Islam ( HMI ). Karena di HMI Mahasiswa Islam diberikan tanggung jawab sebagai tujuan mereka yang tidak hanya sekedar Mahasiswa tetapi juga sebagai insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Subhanahu Wata ’ala. Namun seiring bertukarnya zaman dan berjalannya waktu, militansi dan responsif sebahagian kader HMI juga perlahan terkikis. Hal ini terlihat dari berbagai fenomena diatas, dapat kita simpulkan bahwa saat ini orientasi kader HMI sudah mulai berubah dari apa yang menjadi tujuan sebenarnya HMI itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh berbagai hal yang diantaranya adalah perubahan orientasi beberapa kader HMI.

        b. Saran
       Kader HMI merupakan mahasiswa yang tidak hanya sekedar mahasiswa, tetapi insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Subhanahu Wata ’ala. Sehingga kader HMI harus tetap konsisten dengan apa yang menjadi tujuan setiap kader HMI tanpa pernah terkikis seirng dengan berputarnya waktu agar kemaslahatan umat benar – benar terjadi bersamaan dengan militansi yang dimiliki oleh setiap kader HMI yang siap mengabdi kepada Masyarakat.