Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Story of MALANG

Kongres Himnas PKn 2011.

Story of Bandung

Kongres Himnas PKn 2012.

Story of Pandeglang

LK II HMI Cab. Pandeglang.

Aksi Kamisan

SeHAMA Angkatan IV 2012.

Debat Dengan Raja Minyak

Arya Duta Hotel - Medan 2011.

Rabu, 30 Mei 2012

PKn Unimed Juara 3 Lomba Debat Nasional

Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan (PPKn FIS Unimed) berhasil meraih juara ketiga dalam Kompetisi Debat PKn Tingkat Nasional di Universitas Negeri Malang pada 19-20 November lalu. Peserta dalam kegiatan ini adalah seluruh perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia. Pemenang pertama dan kedua masing-masing adalah Universitas Negeri Mulawarman, Kalimantan Timur dan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Jawa Barat.


Muhammad Taufik Hidayat dan Eka Azwin Lubis yang tampil mewakili Unimed menyatakan rasa haru dan bangga atas prestasi ini. Terus terang kompetisi ini sangat prestisius. Banyak peserta yang tampil dengan baik. Alhamdulillah, juri memberikan penilaian yang obyektif dan Unimed berhasil meraih predikat pemenang ketiga tingkat nasional. Makalah pertama yang kami sajikan terkait dengan pelanggaran HAM dalam kasus penggusuran warga masyarakat di Desa Pasar VI, Kualanamu, Deli Serdang.

Sebagai mahasiswa PPKN FIS Unimed dan staf di Pusham Unimed, pihaknya terus mengikuti perkembangan pembangunan bandara Kualanamu dan dari berbagai informasi yang kami dapatkan, pelanggaran HAM terjadi dalam kasus penggusuran warga masyarakat di sana. Ganti rugi dan kompensasi yang tidak bermartabat membuat kehidupan masyarakat berada dalam pilihan yang sulit. Padahal, sejatinya pembangunan tidak bisa dilepaskan dari perlindungan dan pemenuhan HAM.

Debat tingkat nasional diselenggarakan setiap tahunn. Dan untuk tahun ini  menghadirkan tema-tema aktual, seperti pemberantasan korupsi, perlindungan buruh migran, peran strategis intelijen negara, perlindungan HAM serta jender. Setiap peserta memilih dalam posisi sebagai pro atau kontra dengan waktu masing-masingnya selama 30 menit untuk mempertahankan argumentasinya.

Pimpinan Jurusan PPKn FIS Unimed, Parlaungan Gabriel Siahaan, mengatakan, prestasi ini sangat membanggakan jurusan PPKn FIS Unimed. Kami terus mendorong agar mahasiswa/mahasiswi terus meningkatkan prestasinya, baik di kancah lokal, nasional, regional dan internasional. Arief Wahyudi, Sekretaris Pusham Unimed, mengungkapan rasa bangganya atas kemampuan mahasiswa yang juga keduanya merupakan staf Pusham Unimed. Semoga sikap kritis dan keberanian mereka mampu diteladani oleh mahasiswa Unimed lainnya. Pembantu Rektor II Unimed, Khairul Azmi, juga mengucapkan terima kasih dan bangga atas prestasi adik-adik mahasiswa PPKn FIS Unimed

Apakah Ini Kemenangan Rakyat ?

Oleh : Eka Azwin Lubis


Sidang Paripurna anggota DPR untuk menentukan sikap apakah harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dapat atau tidak untuk dinaikan berkahir dengan antiklimaks. Sidang yang sempat diundur beberapa jam dari jadwal semula tersebut berjalan alot karena banyak pertentangan yang terjadi antara sesama wakil rakyat dalam menentukan sikap untuk mengambil keputusan dalam mengubah konstitusi yang mengatur mengenai harga BBM yang berujung pada dimungkinkannya harga BBM harus menyesuaikan harga pasaran minyak dunia. Fraksi-Fraksi oposisi tetap kekeh pada pendirian awal untuk menentang wacana kebijakan pemerintah yang ingin menaikan harga BBM menyusul naiknya harga minyak dunia. Sementara beberapa fraksi koalisi yang awalnya menyatakan sikap untuk mendukung kebijakan tersebut, perlahan mulai melakukan manuver dimana mereka menganggap harga BBM belum harus dinaikan karena berbagai alasan yang pastinya ditemui pasca dilakukannya serangkain lobi-lobi dan rapat internal partai. Partai berkuasa, Demokrat tetap mantap pada pendirian awal untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam menaikan harga BBM dengan alasan untuk menjaga stabilitas dana APBN agar tidak kebobolan karena harus terus menerus menanggung subsidi BBM yang kebayakan justru dinikmati oleh kaum menengah keatas. Mereka berdalih bahwa dana subsidi yang jumlahnya luar biasa besar tersebut dapat dialihkan keberbagai sektor lain yang dapat menunjang kesejahteraan hidup rakyat seperti pendidikan, kesehatan, dan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang merupakan program pemerintah untuk memberikan dana langsung kepada masyarakat miskin untuk dipergunakan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pemerintah beranggapan bahwa subsidi yang selama ini justru lebih banyak dinikmati oleh orang-orang kaya, sudah selayaknya dicabut dan harus lebih diperuntukan bagi mereka yang tidak mampu dengan cara membagikan uang tunai secara langsung. Namun apakah niatan yang dimiliki oleh pemerintah tersebut benar-benar pro rakyat dan dapat mengurangi beban hidup rakyat. Nyatanya hal tersebut telah dijawab dengan berbagai aksi penolakan dihampir seluruh daerah di tanah air. Mereka dengan keras menentang kebijakan pemerintah yang tidak populer tersebut dengan menggelar aksi unjuk rasa yang tidak jarang harus berujung pada tindak anarkis. Ini menjadi jawaban betapa rencana yang dimiliki pemerintah tersebut ternyat keliru dan justru menimbulkan dampak yang luar biasa. Banyak infrastuktur seperti jalanan, gedung pemerintahan, pos-pos polisi yang rusak karena tindak anarkis para pengunjuk rasa yang kecewa terhadap kebijakan pemerintah yang mereka anggap hanya akan menambah beban hidup rakyat. Betapa tidak, apabila pemerintah berdalih bahwa subsidi yang selama ini justru lebih dominan untuk dinikmati orang kaya yang lebih banyak memiliki kendaraan dan tentunya menghabiskan BBM bersubsidi yang lebih banyak pula sehingga subsidi harus dicabut, ternyata kajian tersebut sangatlah keliru. Sebab berapapun mahalnya harga BBM yang dijual pemerintah apabila subsidi telah dicabut dan harga BBM membumbung tinggi, orang-orang kaya tersebut tetap mampu untuk membelinya karena mereka memiliki penghasilan diatas rata-rata. Sementara masyarakat miskin yang memang sangat minim menggunakan subsidi BBM karena memiliki kendaraan yang apa adanya dan menghabiskan BBM dengan jumlah kecil, justru harus menanggung dampak yang sangat sistemik akibat naiknya harga BBM. Tidak bisa dipungkiri apabila subsidi BBM ditarik oleh pemerintah dan dialihkan untuk hal lain, bukan hanya harga BBM saja yang melambung naik melainkan semua kebutuhan pokok juga ikut naik, Mulai dari harga sembako hingga tarif berbagai kendaraan umum juga pastinya ikut-ikutan naik karena dampak naiknya harga BBM yang sangat urgen dalan menggerakan roda kehidupan masyarakat. Sehingga wajar apabila sikap menolak muncul secara serentak menyusul diumumkannya rencana pemerintah untuk membuat kebijakan menaikan harga BBM. Rasa was-was dan khawatir yang mengahantui kehidupan masyarakat karena wacana kenaikan harga BBM tersebut harus dibayar mahal dengan banyaknya korban yang berjatuhan dalam aksi menolak kenaikan harga BBM. Jujur kita mengatakan bahwa tindakan anarkis sangat tidak dibenarkan dalam tiap aksi unjuk rasa yang digelar apapun alasannya. Namun kita juga harus adil dalam berfikir dimana apabila tindakan anarkis tersebut tidak terjadi, barangkali pemerintah sangat enggan untuk menyikapi aksi penolakan yang terjadi. Sehingga ada anggapan bahwa dengan cara-cara seperti itulah setiap tuntutan yang disampaikan oleh rakyat dapat direspon dengan pemerintah secara serius. Pro Rakyat Atau Sekedar Pencitraan Seiring dengan penolakan yang sangat sporadis oleh masyarakat Indonesia akan kenaikan harga BBM tersebut, bermunculanlah pahlawan-pahlawan baru yang menganggap partainya pro rakyat sehingga siap berjuang bersama rakyat untuk menumpas segala ketidakadilan yang selama ini akrab dengan kehidupan masyarakat kita. Tidak jelas motif partai-partai tersebut dalam melakukan penolakan kenaikan harga BBM. Apakah tindakan mereka memang tulus untuk membela rakyat atau hanya sekedar pencitraan dalam menyongsong pemilu yang tinggal dua tahun lagi. Tapi terlepas dari apapun niatan mereka, yang jelas kita harus apresiasi karena masih ada pihak-pihak yang peduli dengan nasib rakyatnya. Bila Mahasiswa dan Masyarakat sipil bergerak dijalanan untuk menentang kanaikan harga BBM, para anggota dewan yang berpandangan bahwa harga BBM tidak harus dinaikan karena hanya akan menambah beban hidup rakyat harus berjuang didalam forum sidang paripurna untuk menyuarakan nasib rakyat. Mereka harus bersitegang dengan teman-teman sejawatnya sesama wakil rakyat yang punya komitmen dan cara pandang berbeda. Hal ini terlihat dari Sidang Paripurna yang digelar kemarin untuk menyikapi rencana kenaikan harga BBM. Seperti yang dijelaskan diawal tulisan bahwa banyak partai yang memiliki pandangan dan sikap yang berbeda dan bahkan saling kontradiksi mengenai layak tidaknya harga BBM dinaikan. Perang urat leher terjadi mewarnai jalannya persidangan yang berlangsung hingga dini hari tersebut. Beragam interupi dilancarkan kepada pimpinan sidang yang dikepalai oleh ketua DPR, Marzuki Alie. Hingga hal-hal yang sebenarnya sangat tidak substansi untuk disampaikan, harus disampaikan oleh anggota-anggota dewan tersebut. Tidak jelas apa tujuan mereka untuk mengulur waktu dalam mengambil kesepekatan tersebut. Yang jelas pada akhirnya muncul dua opsi untuk dibahas dan disepekati mengenai isi Undang-Undang meneganai APBN tahun 2012 yang mengatur tentang ketetapan harga eceran BBM. Pada pasal 7 ayat 6 Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa harga BBM tidak boleh untuk diubah. Sehingga apabila isi pasal tersebut tidak diubah atau ditambahi maka rencana pemerintah untuk membuat kebijakan menaikan harga BBM akan blunder karena bertentangan dengan isi konstitusi. Oleh sebab itu fraksi pendukung kebijakan pemerintah menawarkan opsi untuk menambah isi pasal 7 ayat 6 tersebut dengan pasal 7 ayat 6a yang berisi bahwa pemerintah dapat menaikan harga BBM apabila harga minyak dunia naik hingga 15%. Dengan kata lain isi pasal tambahan tersebut menyatakan bahwa pemerintah harus menyesuaikan harga BBM dengan harga pasaran minyak dunia yang berujung pada dapat berubahnya harga BBM sewaktu-waktu dalam enam bulan kedepan. Seperti dugaan diawal, kerasnya komitmen pemerintah untuk menaikan harga BBM yang didukung oleh partainya diparlemen seakan tidak menemui batu sandungan yang berarti saat sidang paripurna digelar. Sebab opsi bagi pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM dengan harga pasaran minyak dunia dalam enam bulan kedepan, diambil sebagai keputusan final dalam sidang paripurna tersebut. Itu artinya BBM tidak jadi dinaikan pada satu April seperti yang direncanakan pemerintah karena harga minyak dunia masih relatif stabil. Meskipun mengalami kenaikan namun tidak terlalu signifikan sehingga subsidi belum mesti untuk ditarik. Namun apakah hal tersebut serta merta merupakan angin segar bagi masyarakat yang menginginkan harga BBM urung dinaikan. Agaknya masyarakat jangan terlalu larut dulu dalam menyambut ditundanya kenaikan harga BBM tersebut. Sebab bukan tidak mungkin satu ketika harga BBM dapat dinaikan oleh pemerintah karena konstitusi yang mengatur bahwa harga BBM tidak boleh dinaikan sudah mengalami penambahan yang mengharuskan pemerintah untuk menyesuaikan harga minyak dunia. Semoga mereka yang membela hak rakyat benar-benar komit dengan apa yang mereka perjuangkan tanpa ada maksud tersendiri kerana merekalah yang sebenarnya menjadi sandaran masyarakat dalam menjalankan kehidupan bernegara. Dan masyarakat juga harus tetap dewasa dalam meyikapi berbagai keputusan yang diambil oleh pemerintah sehingga tidak larut dalam euforia yang sementara.

Narkotika dan Era Baru Penyebarannya

Oleh : Eka Azwin Lubis


Permufakatan Jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih yang bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, turut serta melakukan, menyuruh, menganjurkan, memfasilitasi, memberi konsultasi, menjadi anggota suatu organisasi kejahatan Narkotika, atau mengorganisasikan suatu tindak pidana Narkotika. Keterangan tentang tindakan yang sangat tidak dibenarkan hukum tersebut diatur dalam Pasal 1 ayat 18 Undang – Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika sebagai landasan hukum bagi setiap orang yang melakukan transaksi barang terlarang tersebut. Indonesia merupakan negara yang manjadikan Narkoba sebagai barang yang ilegal dan tidak dibenarkan untuk beredar di negara ini. Sehingga bagi siapa saja baik itu warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang kedapatan berhubungan dengan narkoba baik itu pengguna, pengedar, atau bahkan hanya sekedar kurir diwilayah hukum Indonesia, maka pihak kepolisian akan segera menindak tegas mereka tanpa memandang latar belakangnya. Namun meskipun tindakan tegas telah dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya pemberantasan narkoba di Indonesia tetap saja peredaran narkoba masih merajalela dinegeri ini. Terlihat dari jumlah pecandunya di Indonesia yang makin tahun semakin meningkat. Yang menjadi sasaran dari kejahatan narkoba tidak hanya mereka yang memiliki uang banyak, melainkan hampir semua lapisan masyarakat baik tua maupun muda, dari yang kaya sampai yang hidup pas – pasan, hingga mereka yang berpendidikan sampai yang buta akan ilmu pengetahuan ikut terlibat dalam penyalahgunaan narkoba. Untuk kaum muda yang merupakan pemangku peredaban masa depan dan sedang menempuh jenjang pendidikan saja, jumlah mereka yang akrab dengan narkoba sangat memprihatinkan. Bayangkan saja hasil survei Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan, prevalensi penyalahgunaan narkoba di lingkungan pelajar mencapai 4,7 persen dari jumlah pelajar dan mahasiswa di Indonesia atau sekitar 921.695 orang. Angka ini tentu saja tidak bisa ditolerir lagi. Sebab seandainya hal ini terus dibiarkan maka bukan tidak mungkin Indonesia kedepannya akan menjadi negara yang berpredikat sebagai surga narkoba dunia. Menurut Kabid Pembinaan dan Pencegahan Badan Narkotika Provinsi Sumatera Utara, Arifin Sianipar, dari jumlah tersebut, 61 persen diantaranya menggunakan narkoba jenis analgesic dan 39 persen jenis ganja, amphetamine, ekstasi dan lem. Hal tersebut mempertegas indikasi bahwa narkoba tidak hanya digunakan oleh kaum proletar yang memiliki dana besar untuk mendapatkannya. Sebab bagi seorang siswa SMP sekalipun untuk membeli sekaleng lem cukup dengan menyisihkan uang jajan yang diberikan orang tuanya. Sebegitu parahnya sudah generasi muda kita yang terkontaminasi dengan zat – zat yang sebenarnya sangat diilegalkan dinegeri ini. Peran orang tua sebagai lapisan pertama untuk mencegah anak – anak mereka dari bahaya narkoba juga terkadang tidak berjalan efisien, sebab faktor lingkungan lebih dominan dalam mempengaruhi para generasi muda untuk akrab dengan narkoba. Generasi muda yang merupakan generasi produktif merupakan sasaran empuk bagi penyebaran narkoba di Indonesia. Badan Narkotika Nasional ( BNN ) menyebutkan Jumlah pengguna narkoba terbanyak adalah mereka yang berada pada usia 20 hingga 34 tahun. Sedangkan jenis narkoba yang paling banyak digunakan oleh pecandunya yang mendapatkan terapi dan rehabilitasi adalah jenis heroin yang mencapai 10.768 orang, lalu mereka yang menggunakan ganja yang mencapai 1.774 orang dan sabu-sabu sebanyak 984 orang. Para pecandu narkoba umumnya cenderung menutup diri atau tidak terbuka dengan orang lain tentang apa kegiatan negatif yang mereka lakukan. Praktis hanya sebagian kecil yang berani untuk menyatakan dirinya sebagai pengguna narkoba dan berusaha untuk mengakhiri ketergantungannya akan obat – obat terlarang tersebut. Hal ini terlihat dari jumlah pecandu narkoba yang mendapatkan terapi dan rehabilitasi di seluruh Indonesia. Berdasarkan data Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) tahun 2010 hanya 17.734 orang. Ini menunjukan bahwa betapa minimnya niat para pecandu narkoba untuk mengakhiri penggunaan narkoba dalam hidup mereka. Padahal jumlah pengguna narkoba di Indonesia menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) mencapai 3,2 juta orang atau 1,5 % dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 8.000 orang menggunakan narkoba dengan alat bantu berupa jarum suntik, yang berakibat 60 persen pecandu dengan alat bentu tersebut terjangkit HIV/AIDS, serta sekitar 15.000 orang meninggal setiap tahun karena menggunakan napza (narkotika, psikotropika dan zat adiktif) lain. BNN menambahkan ada beberapa langkah yang perlu dilakukan guna mencegah maraknya peredaran narkoba, yakni pencegahan dengan cara melakukan sosialisasi secara intensif akan bahaya narkoba, penindakan bagi yang terbukti menjadi pengedar dan pengguna, serta rehabilitasi dan pendampingan terhadap pengguna narkoba. Internet Media Baru Transaksi Narkotika Pengedar narkoba memiliki banyak cara dalam melaakukan transaksi barang haram tersebut. Mayoritas narkoba yang beredar di Indonesia diimpor dari luar negeri. Malaysia adalah pemasok terbesar Narkoba ke Indonesia, selain negara-negara Afrika, Thailand, Vietnam dan masih banyak negara lain yang menjadi produsen narkoba bagi negara ini. Sehingga untuk membawa masuk narkoba ke Indonesia diperlukan trik-trik khusus agar tidak tertangkap oleh petugas Bandara. Selain melalui jalur udara penyelundupan narkoba juga sering melalui jalur-jalur perbatasan seperti Nunukan dan Entikong dan jalur laut melalui Batam, Belawan, dan Aceh. Kebanyakan dari mereka yang ingin menjual narkoba ke Indonesia menggunakan kurir khusus yang terkadang nekat untuk menelan barang haram tersebut untuk disembunyikan didalam perut agar tidak tertangkap oleh petugas. Atau cara lain yang sering digunakan adalah menyimpannya didalam benda – benda yang tidak dicurigai oleh petugas. Kelakuan nekat para kurir narkoba tersebut dikarenakan untung menggiurkan yang akan mereka raih dari penjualan narkoba di Indonesia. Berdasarkan data dari BNN, peredaran narkoba di Indonesia memiliki nilai yang fantastis sehingga menjadi daya tarik besar buat para pemainnya. Pada periode Januari sampai November 2011 saja peredaran narkoba mencapai 28 Milyar Rupiah lebih, tapi nilai ini hanyalah sebagian kecil dari peredaran sesungguhnya di Indonesia. Selain itu perbandingan harga narkoba di Indonesia dengan diluar negeri sangat jauh berbeda. Salah satu contohnya adalah narkoba favorit di kalangan para pemakainya adalah shabu-shabu, di Malaysia di bandrol 300.000 Rupiah tapi di sini bisa berharga sampai Rp. 2 Milyar lebih. Namun cara – cara seperti ini agaknya sudah terlalu usang untuk digunakan karena sering kurir – kurir yang membawa narkoba dari luar negeri ke Indonesia tertangkap di bandara sebelum mereka melakukan transaksi jual beli. Meski demikian tidak jarang juga ada kurir yang lolos dari pemeriksaan petugas bandara sehingga barang haram yang dia bawa dari luar negeri untuk membunuh masa depan jutaan rakyat Indonesia dapat dijual dengan harga yang tinggi. Setelah lolos dari proses pemeriksaan di bandara, tinggal bagaimana cara mereka mengemas barang tersebut sedemikian rupa untuk segera dijual kepada pemesan tanpa harus diketahui oleh aparat kepolisian. Disini kembali para pengedar melakukan hal – hal yang dapat mengelabui petugas. Seperti yang baru – baru ini terjadi saat Badan Narkotika Nasional (BNN) membongkar tiga kasus penyelundupan narkoba melalui jasa pengiriman barang di Denpasar, Bali. Salah satu kurir yang ditangkap di areal parkir perusahaan jasa pengiriman barang kedapatan membawa 628,5 gram kokain yang dimasukkan dalam kancing-kancing gaun dalam paket berisi tujuh gaun dan 178 kancing yang dia bawa. Selain itu aparat juga menangkap seorang tersangka yang akan mengambil kiriman paket dari Jakarta berupa kotak cakram digital berisi shabu-shabu seberat 95,8 gram di sebuah perusahaan jasa pengiriman di kawasan Sesetan. Cara yang dilakukan oleh pengedar narkoba ini seolah tidak ada habisnya. Belakangan ada hal baru yang mulai terungkap oleh aparat kepolisian tentang cara transaksi narkoba dari luar negeri. Internet yang selama ini akrab dengan kehidupan kaula muda perlahan mulai dimanfaatkan untuk media transaksi narkoba. Menurut Kepala Humas BNN Kombes Polisi Sumirat Dwiyanto, sejak awal Februari 2012 lalu dalam pertemuan internasional yang dihadiri BNN, sudah dibahas mengenai kemungkinan digunakannya media online untuk transaksi narkoba di Indonesia. Melalui intelejen BNN, disimpulkan bahwa pengedar narkoba internasional via internet biasanya kerap menggunakan kode atau sandi tertentu untuk melakukan transaksi. Peredaran narkoba via internet mencuat pasca tertangkapnya anak angkat Rano Karno, Raka Widyarma yang memesan narkoba via online. Raka Widyarma, tertangkap polisi saat memesan lima butir ekstasi via online dari Malaysia. Raka ditangkap bersama seorang rekannya di sebuah rumah di Bintaro Jaya, Jakarta Selatan dan kini ditahan di Polres Bandara Soekarno-Hatta. Pemerintah harus lebih pro aktif dalam memberantas peredaran Narkoba di Indonesia, sebab perlahan cara yang digunakan oleh para pengedar narkoba juga semakin canggih dan terorganisir. Oleh sebab itu peran aktif pemerintah dan petugas yang berwenang harus lebih ditingkatkan demi memelihara kondusifitas anak bangsa agar tidak terkontaminasi narkotika.

Polisi dan Senjatanya

Oleh : Eka Azwin Lubis

Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat Polri adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Pasal 1 ayat 1 Perkapolri No 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian tersebut merupakan gambaran bagaimana oknum kepolisian yang merupakan alat negara berkewajiban untuk menjaga dan mengawal ketertiban dan ketentraman negara agar tetap kondusif dan steril dari berbagai tindak kejahatan dalam bentuk apapun sehingga negara tetap dalam keadaan aman terkendali. Dalam mengemban amanat negara yang cukup besar tersebut tentunya awak polri harus memiliki legalitas kekuatan dalam setiap tindakannya sesuai pasal 5 ayat 1a-f Perkapolri No 1 tahun 2009 tersebut yang terdiri dari tahap 1 : kekuatan yang memiliki dampak deterrent /pencegahan, tahap 2 : perintah lisan, tahap 3 : kendali tangan kosong lunak, tahap 4 : kendali tangan kosong keras, tahap 5 : kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata, semprotan cabe atau alat lain sesuai standar Polri, dan tahap 6 : kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat. Yang kesemua tahapan tersebut memiliki mekanismenya masing – masing dalam setiap pengambilan tindakannya yang diatur pada pasal – pasal selanjutnya Perkapolri tersebut. Khusus untuk hal ini kita akan membahas tentang Pasal 5 ayat 1f yakni tahap 6 yang mengatur penggunaan kekuatan tindakan kepolisian yang meliputi penggunaan senjata api bagi pihak kepolisian dalam menyelesaikan satu prilaku kejahatan yang dapat menimbulkan dampak yang berbahaya dan mengencam keselamatan personil Polri. Seperti kita ketahui bersama Polri yang diamanatkan untuk mengayomi dan menciptakan keamanan di kehidupan masyarakat di berikan hak untuk mempersenjatai diri termasuk dengan senjata api yang tentunya diperoleh dengan beberapa tahapan dan persyaratan demi menjaga substansifitas penggunaan. Namun legalitas penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian bukan berarti tanpa aturan. Ada batasan-batasan yang mengatur penggunaan senjata api oleh personil polisi. Mereka tidak senantiasa dibenarkan menggunakan atau mengoperasikan senjata yang meraka miliki selama bertugas tanpa ada hal-hal yang memang mengharuskan mereka untuk menggunakannya seperti yang diatur dalam Pasal 7 ayat 2d Perkapolri No 1 tahun 2009 yang berisikan moment dimana mereka diperkenankan menggunakan senjata api seperti saat ada tindakan agresif yang bersifat segera yang dilakukan oleh pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian atau membahayakan kehormatan kesusilaan anggota Polri atau masyarakat atau menimbulkan bahaya terhadap keselamatan umum, seperti: membakar stasiun pompa bensin, meledakkan gardu listrik, meledakkan gudang senjata/amunisi, atau menghancurkan objek vital, dapat dihadapi dengan kendali senjata api atau alat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf f. Hal ini mengindikasikan sakralnya sebuah senjata api bagi seorang aparat polisi sehingga senjata api tersebut tidak harus senantiasa digunakan mereka dalam upaya menciptakan kondusifitas negara kecuali ada hal-hal tertentu yang memang mengharuskan mereka untuk menggunakannya seperti yang telah dijelaskan diatas. Selain itu meskipun sudah jelas diatur bagaimana prosedur penggunaan senjata api bagi polisi, namun bukan berarti setiap ada tindakan-tindakan yang mengancam keselamatan mereka atau orang lain yang dilakukan oleh pelaku tindak kejahatan, mereka juga tidak langsung dapat menggunakan kekuatan senjata api sebab mereka juga harus melihat situasi kejadian perkara sebelum mereka mengambil tindakan, seperti apakah jika tembakan dilepaskan tidak akan mengganggu keselamatan orang lain karena kejadian berada ditempat keramaian. Disini dituntut profesionalitas awak kepolisian dalam menyikapi berbagai masalah yang terjadi ditengah masyarakat yang tak mengenal waktu dan tempat. Makanya kalau kita boleh jujur sangat luar biasa peran dari kepolisian dalam menjaga kondusifitas kehidupan masyarakat yang selalu menuntut profesionalitas mereka dalam bekerja. Senjata yang Makan Tuannya Bagai pepatah yang menggambarkan bagaimana hal atau tindakan yang ditujukan kepada orang lain justru menimpah diri sendiri. Hal itulah yang belakangan ini sering dialami oleh aparat kepolisian dimana dalam menjalankan tugasnya senantiasa bertemankan dengan senjata api yang selalu setia kepada mereka dalam mengemban amanat negara untuk menciptakan keamanan dan ketentraman masyarakat. Amunisi Senjata api yang seyogyanya ditujukan kepada pelaku tindak kejahatan yang mengancam keselamatan polisi dan orang lain atau bagi mereka pelaku kriminal yang coba melarikan diri, kini seolah menjadi momok baru bagi personil polisi. Karena tidak hanya senjata api dari tangan pelaku tindak kejahatan saja yang saat ini mesti diwaspadai, tetapi juga senjata milik polisi sendiri juga sekarang butuh pengawasan dan kewaspadaan ekstra tinggi dalam penggunaanya. Bagaimana tidak, Amunisi-amunisi senjata milik polisi yang dulunya hanya menjadi boomerang bagi para pelaku kejahatan, kini justru sering salah target yang justru mengakibatkan sang empunya sendiri yang menjadi sasarannya. Belakangan banyak terjadi kasus kematian polisi yang dikarenakan tertembak senjata api milik sesama polisi. Kita masih ingat bagaimana kasus tewasnya Briptu Erik Setya Widodo, anggota Lantas Polsek Sukolilo, Polres Bangkalan pada awal bulan Agustus 2011 lalu yang dibunuh oleh Aiptu Soenarto yang juga anggota Provost Polri dan anaknya bernama Arif BS. Kasus ini bermula saat Aiptu Soenarto menangkap Briptu Erik yang dituduh melakukan pungutan di akses jalan Suramadu di wilayah Polres Bangkalan. Namun karena Briptu Erik merasa tak melakukan pemerasan dan pungutan, maka diapun melawan. Saat itulah kedua personil kepolisian itu terlibat adu mulut yang berakhir pada Aiptu Soenarto merebut senjata Briptu Erik dan kemudian mengeksekusinya di lokasi penangkapan di kawasan Suramadu pada 1 Agustus 2011 dengan 2 kali tembakan. Satu peluru luput dan satu peluru lainnya kena menembus punggung Briptu Erik. Kasus tewasnya aparat kepolisian akibat letusan senjata api yang dilakukan oleh sesama aparat kepolisian diperpanjang dengan peristiwa yang menimpa seorang anggota kepolisian yang sehari-hari bertugas di Mabes Polri, Bripda Farid Hamdani Baranuri, yang tewas diterjang peluru pistol rekannya. Kasus ini sedikit berbeda dengan kasus sebelumnya yang murni pembunuhan. Kasus ini sendiri diindikasi akibat kelalaian salah seorang personil polisi yang mengakibatkan nyawa rekannya sesama polisi melayang. Kasus ini bermula saat tersangka Bripda HB hendak bermain-main dengan mengarahkan senjata api jenis revolver Colt 38 ke arah kepala Bripda Farid. Senjata itu sendiri miliki rekan keduanya yaitu Briptu G, yang sedang mandi ketika terjadi insiden. Namun tanpa diduga ternyata revolver itu meletus dan sebuah peluru keluar lalu menembus badan Bripda Farid yang mengakibatkannya tewas. Bripda HB sendiri telah diproses di Divisi Propam (Profesi dan Pengamanan) Mabes Polri karena terbukti melakukan kelalaian yang mengakibatkan orang lain tewas sehingga dijerat pasal pidana 359 KUHP. Dia juga akan menjalani sidang kode etik sesuai yang disampaikan Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Kombes Rikwanto. Pasca kejadian tersebut, Insiden tragis tentang tewasnya polisi akibat terkena tembakan sesama polisi belum juga berhenti. Kasus tewasnya personil kepolisian akibat tertembak senjata polisi diperpanjang oleh insiden yang menimpa seorang personil kepolisian berpangkat Brigadir Satu yang juga merupakan Personel Direktorat Samapta Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Briptu Leo Sitanggang. Persitiwa yang terjadi di Asrama Polisi di kawasan Padang Bulan, Medan pada 14 februari 2012 tersebut berawal ketika rekan korban yang merupkan Anggota Direktorat Sabhara Polda Sumatera Utara, Briptu Ikhsan Fuadi membersihkan senjatanya jenis SS1 (V2) setelah kembali dari tugas mengawal logistik ke Aceh. Tanpa disadari dalam senjata tersebut masih tersimpan sebuah peluru dan tiba-tiba tertembak ketika pelatuknya ditarik tanpa sengaja. Peluru tersebut mengenai mata sebelah kanan Briptu Leo Sitanggang dan tembus hingga ke bagian kepalanya sehingga menyebabkan personel Direktorat Samapta Polda Sumut itu tewas. Beberapa insiden diatas agaknya mengingatkan para personil kepolisian untuk lebih waspada dan berhati-hati dalam merawat dan menggunakan senjata api yang diamanatkan kepada mereka agar tidak beroperasi disaat yang tidak diinginkan dan berakibat fatal hingga tewasnya sesama polisi. Oleh sebab itu kesiagaan dan kecermatan selalu dituntut terutama kepada pihak kepolisian agar keamanan negara selalu konsdusif dan keselamatan kerja mereka senantiasa terjamin.

Selasa, 29 Mei 2012

Optimalisasi Perbaikan Jalan yang Belum Berjalan (Opini Analisa)

Oleh : Eka Azwin Lubis

Penyelenggaraan jalan berdasarkan pada asas kemanfaatan, keamanan dan keselamatan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan, keadilan, transparansi dan akuntabilitas, keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, serta kebersamaan dan kemitraan. Asas tentang jalan yang memaparkan beberapa aspek termasuk keselamatan tersebut diatur dalam Pasal 2 Undang – Undang Nomor 38 tahun 2004 tentang jalan. Begitu spesifiknya pasal tersebut mengatur beberapa asas yang dijadikan landasan akan fungsi jalan itu sendiri. Sama – sama kita ketahui bahwa Jalan merupakan salah satu inftasruktur negara yang wajib mendapat perhatian khusus akan perawatannya. Sebab jalan berfungsi sebagai akses penghubung antar satu tempat ketempat lain. Sehingga apabila kondisi jalan sudah tidak lagi mendapat perhatian sebagaimana mestinya, maka transformasi berbagai sektor kehidupan juga perlahan macet. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab yang dikhawatirkan terutama oleh para orang – orang yang aktifitas sehari - harinya baik langsung maupun tidak langsung ditentukan oleh kondisifitas jalan. Satu contoh real adalah bagaimana Jalan dapat menjadi faktor meningkatkan kegiatan ekonomi di suatu tempat karena menolong orang untuk pergi atau mengirim barang lebih cepat ke suatu tempat tujuan. Dengan adanya jalan maka komoditi dapat mengalir ke pasar setempat dan hasil ekonomi dari suatu tempat dapat dijual kepada pasaran di luar wilayah itu. Hal tersebut menggambarkan betapa vitalnya peran jalan sebagai medium penghubung antar satu tempat ketempat lain yang juga dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan seperti yang dijelaskan dalam Pasal 5 ayat 1 Undang – Undang Nomor 38 tahun 2004 tersebut bahwa Jalan sebagai bagian prasarana transportasi mempunyai peran penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan, serta dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sehingga sudah menjadi hal yang wajar apabila kondusifitas dan kelayakan jalan harus senantiasa diperhatikan oleh negara sebagai penguasa atas jalan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 13 Undang – Undang tersebut yang menerangkan Penguasaan atas jalan ada pada negara. Oleh sebab itu pemerintah sebagai penyelenggara negara berkewajiban untuk memperhatikan kondisi jalan diseluruh pelosok tanah air. Sebab pengaturan tentang wewenang jalan juga tidak hanya diamanatkan oleh pemerintah pusat, melainkan sampai pada tingkat pemerintah daerah agar pembagian tugas dan wewenang dapat dispesifikasikan menurut lingkup wilayahnya seperti yang diatur dalam Pasal 15 tentang wewenang pemerintah provinsi dan Pasal 16 tentang wewenang pemerintah kabupaten/kota untuk memelihara dan mengawasi keadaan jalan diwilayah kerjanya masing – masing. Dalam hal pembangunan, pemeliharaan atau perawatan, dan pengaturan jalan, dana yang dikucurkan juga tidak main – main. Alokasi dana yang cukup besar diharapkan mampu memberi hasil yang optimal bagi perawatan jalan sehingga infrastuktur yang memiliki peran vital dalam menjalankan roda kehidupan negara ini tidak menjadi kendala tersendiri. Di Sumatera Utara saja, Dinas Bina Marga ( Dinas Pekerjaan Umum ) yang merupakan pihak penanggung jawab untuk masalah jalan melalui Kepala Bidang Pengaturan dan Evaluasi, Iswahyudi menyatakan bahwa untuk tahun 2012 alokasi anggaran bagi Dinas Bina Marga Sumut sebesar Rp 759,82 miliar. Jumlah ini memang tidak sebesar anggaran pada tahun 2011 lalu yang mencapai Rp 821,1 miliar. Angka tersebut bukanlah nominal yang kecil bagi pemerintah dalam hal ini Dinas Bina Marga untuk memperbaiki kondisi jalan yang ada di Sumut. Sebab hingga sekarang menurut Iswahyudi Sepanjang 673,541 kilometer jalan provinsi di Sumut masih mengalami kerusakan. Dimana jalan rusak berat mencapai 304,141 km dan rusak ringan sepanjang 369,4 km. Oleh sebab itu diharapkan dana yang dialokasikan untuk perbaikan infrastruktur jalan tersebut dapat dioptimalkan secara benar untuk pembangunan dan perbaikan jalan yang ada di Sumut agar jumlah jalan yang rusak tersebut perlahan dapat diminimalisir yang pada akhirnya diharapkan semua akses jalan di Sumut dapat mengalami perbaikan sehingga layak untuk digunakan. Maka Dinas Bina Marga harus serius untuk melaksanakan kinerjanya agar jalan yang selama ini mengalami kerusakan yang berakibat pada ketidaknyamanan masyarakat dalam menggunakannya dapat diperbaiki dengan anggaran yang cukup besar tadi. Apalagi pihak Pemda sendiri terus mendorong upaya perbaikan jalan yang harus disegerakan dengan cara mengucurkan dana APBD yang besar agar tidak menimbulkan dampak sistemik kedepannya. Tinggal bagaimana pihak yang bertanggung jawab saja dapat mengelola dana tersebut dengan baik. Perbaikan Dengan Kualitas Seadanya Seiring dikucurkannya dana untuk perbaikan jalan yang ada di Sumatera Utara tersebut, maka dengan seketika perbaikan jalan dilakukan diberbagai daerah di Sumut. Dinas Bina Marga sibuk mendata kondisi jalan yang harus segara mendapat perhatian untuk diperbaiki karena kondisinya yang sudah rusak parah. Diberbagai daerah dilakukan perbaikan jalan demi tercapainya targetan meminimalisasi kerusakan jalan yang terdapat di Sumut. Namun hal unik terjadi seiring perbaikan jalan yang dilakukan oleh Dinas Bina Marga tersebut. Dimana jalan – jalan yang rusak tersebut lalu diperbaiki dengan kualitas perbaikan yang terkesan asal – asalan sehingga berakibat pada tidak tahan lamanya kondisi jalan yang baru diperbaiki tersebut. Hal ini terjadi diberbagai daerah, seperti di Kabupaten Batubara, Asahan, dan hampir semua kabupaten/kota yang mengalami perbaikan jalan dengan kualitas seadanya. Hal ini berdampak pada banyak hal, seperti ancaman keselamatan para pengguna jalan, sulitnya distribusi barang dari wilayah produsen ke wilayan konsumen, sampai pada minimnya jumlah wisatawan yang berkunjung ketempat – tempat liburan yang ada di Sumut dikarenakan kondisi jalan yang kurang layak untuk dilalui. Kita tentunya masih ingat bagaimana tragedi Bus ALS di daerah Aek Latong. Kecelakaan tersebut merupakan bencana nasional yang diakibatkan kelalaian pemerintah menyediakan sarana jalan. Kecelakaan maut bus Antar Lintas Sumatera (ALS) jurusan Medan-Bengkulu yang menewaskan lebih dari 19 orang penumpangnya di jalan lintas Sumatera (Jalinsum), tepatnya di daerah Aek Latong KM 7-8, Kecamatan Sipirok, Tapsel, tersebut merupakan puncak dari ketidakberesan penagunggung jawab yang dalam hal ini Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) I Medan untuk menangani kerusakan jalan di Aek Latong. Ketua DPD Organda Sumut, Haposan Siallagan menyatakan bahwa peristiwa bus ALS itu murni diakibatkan kondisi jalan dan bukan human error atau faktor kelalaian supir. Dari sisi kemiringan dan licinnya jalan merupakan faktor utama bus masuk jurang, ujarnya. Faktor perbaikan jalan dengan pola seadanya ini menjadi pemicu kecelakaan tersebut. Sekretaris Komisi D DPRD Sumut, Tunggul Siagian menyatakan penetapan kontrak dalam proyek perbaikan jalan Aek Lartong ini terkesan sewenang - wenang tanpa melihat kompetensi dan kinerja sebuah perusahaan kontraktor. Kontraktor Penawar terendah memenangkan kontrak proyek tersebut yang berakibat banyaknya uang sisa tender yang dikembalikan ke pemerintah pusat. Namun harga tawaran tentu akan mencerminkan kualitas pekerjaan dan bahan yang digunakan. Pemerintah agaknya harus lebih tegas lagi dalam hal mengawasi perbaikan jalan agar hal – hal yang tidak diinginkan tidak lagi terulang. Sebab keseriusan pemerintah untuk memperbaiki kondisi jalan terutama di Sumatera Utara ini sudah mendapat sokongan dana yang cukup memadai sehingga diharapakan mampu memberikan hasil kerja yang lebih maksimal dalam hal perbaikan jalan.

Mengabdi Pada Kebodohan

Oleh : Eka Azwin Lubis

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Ayat 1 Pasal 1 Undang –Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan tersebut menggambarkan urgensifitas pendidikan yang harus dienyam oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali guna memperkaya wawasannya dalam menjalankan hidup yang potensial dan berkepribadian. Sebab jika seseorang yang terlahir kemuka bumi tidak mendapat kesempatan untuk menjalani proses pendidikan baik secara formal, informal, maupun nonformal, maka praktis orang tersebut akan menjalani hidup yang tidak berorientasi. Islam sendiri jika kita melihat dari konteks sudut pandang agama menegaskan bahwa manusia harus belajar dari mulai buaian sampai liang lahat. Betapa tidak bisa dipungkiri bahwa kita harus senantiasa belajar dan belajar untuk menjadi manusia yang bermartabat dan berpengetahuan. Jika kita melihat dari sudut pandang filosofi pendidikan maka kita akan menemukan pernyataan bahwa pendidikan biasanya berawal saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia bisa mengajar bayi mereka sebelum kelahiran. Dari situ kita dapat mengambil kesimpulan bahwa betapa urgennya pendidikan bagi setiap insan manusia yang ada didunia. Seperti yang dijelaskan Horton dan Hunt bahwa fungsi yang nyata (manifes) dari pendidikan itu antara lain Mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah, Mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan bagi kepentingan masyarakat, Melestarikan kebudayaan, dan Menanamkan keterampilan yang perlu bagi partisipasi dalam demokrasi. Hal ini linier dengan apa yang dikatakan oleh David Popenoe, dimana ada empat macam fungsi pendidikan yakni Transmisi (pemindahan) kebudayaan, Memilih dan mengajarkan peranan sosial, Menjamin integrasi sosial, Sekolah mengajarkan corak kepribadian, dan Sumber inovasi sosial. Praktis dari penjabaran tersebut semua masalah yang dihadapi manusia dalam menjalani kehidupan baik secara individu maupun sosial akan bisa diselesaikan dengan ilmu yang dimilikinya dengan wawasan berfikir dan etika sikapnya yang didapat dari berbagai sistem pendidikan baik diranah keluarga atau sering disebut pendidikan informal, masyarakat atau lingkungan yang disebut sistem pendidikan non formal, dan sekolah yang lazim disebut dengan pendidikan formal. Dalam konteks ini kita akan membahas bagaimana sistem pendidikan formal di Indonesia yang merupakan arena belajar bagi setiap warga negara Indonesia untuk menuntut ilmu yang legitimasinya dijamin oleh negara sesuai ayat 1 pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan ”Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Oleh sebab itu setiap warga negara berkewajiban untuk menuntut ilmu dan Negara memiliki kewajiban untuk mengimplementasikan isi ayat tersebut dengan memberikan fasilitas yang dapat menunjang terselenggaranya sistem pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang tertuang pada ayat 2 pasal 31 UUD 1945 yang menjelaskan bahwa “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Alergi Kecerdasan Bangsa Jika kita melihat salah satu poin penting yang menjadi acuan dalam preambule UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia memiliki cita – cita mulia yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Betapa mulianya harapan para pelopor kemerdekaan yang meletakkan pendidikan menjadi hal yang harus mendapat perhatian khusus untuk dimajukan demi terciptanya kehidupan bangsa yang cerdas. Namun yang terjadi adalah Dos Sein But Dos Sollen, dimana apa yang menjadi harapan tidak selalu berjalan lurus dengan apa yang menjadi kenyataan. Realita saat ini menghadapkan kita pada fenomena yang sangat memprihatinkan dimana sistem pendidikan Indonesia masih sangat carut marut dalam implementasinya. Ada dua pihak yang menjadi objek dalam terselenggaranya pendidikan yang berbasis pencerdasan bangsa tanpa harus membebani rakyat. Yang pertama adalah dari pihak masyarakat Indonesia yang hingga saat ini masih ada memiliki pemikiran bahwa pendidikan bukanlah hal yang urgen dalam menjalani kehidupan. Ini terbukti dari masih banyaknya anak yang putus sekolah atau bahkan tidak pernah menempuh pendidikan formal sedikitpun dikarenakan cara fikir yang masih kolot sehingga menganggap tanpa bersekolahpun tetap bisa hidup. Fenomena ini sering kita jumpai didaerah pedesaan. Sebahagian besar anak didesa yang umumnya jauh dari kota hanya menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar dan justru lebih memilih pergi ke kota pasca tamat menempuh pendidikan dijenjang sekolah dasar untuk bekerja dan mendapat uang yang dibawa pulang kampung sehingga dari situlah parameter keberhasilan mereka dalam menjalani hidup dianggap berhasil. Ada juga sebahagian yang memilih untuk turun ke sawah dan ladang untuk membantu orang tua tanpa harus memikirkan dunia pendidikan yang dinggap bukanlah jaminan akan kesuksesan. Yang lebih ironis adalah hingga saat ini masih banyak orang tua terutama di desa yang beranggapan bahwa anak perempuan tidak terlalu penting mengenyam pendidikan disekolah atau bahkan dunia kampus karena pada akhirnya akan balik ke dapur juga sebagaimana lazimnya seorang wanita. Anggapan mereka memang tidak keliru, sebab memang sudah menjadi kewajiban bagi seorang wanita untuk pergi melayani suaminya setelah menikah termasuk dalam urusan dapur. Tapi ada satu hal yang tidak disadari oleh para orang tua yang beranggapan seperti ini, karena anggapan seperti inilah yang membuat ketimpangan sosial antara laki-laki dan perempuan senantiasa terjadi karena perbedaan pendidikan yang cukup signifikan antara laki-laki dan perempuan. Maka wajar jika survey yang dilakukan oleh Ganis menyatakan Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Indonesia memiliki daya saing yang rendah dan menurutnya Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia. Menurut Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh, masih terdapat sebagian anak-anak usia sekolah yang belum menikmati pendidikan dasar. Akan tetapi jumlahnya terus menurun setiap tahunnya. Ia menjelaskan anak-anak yang mengalami putus sekolah diantaranya karena persoalan ekonomi. Oleh karena itu, upaya yang harus diambil adalah menyelesaikan masalah ekonomi tersebut dengan memberikan beasiswa kepada anak yang kurang mampu. Lebih lanjut beliau menyatakan meski sekolah dasar sudah tidak lagi memungut biaya, tetapi beasiswa ini diperlukan untuk mendukung siswa yang kurang mampu sehingga tetap dapat menempuh pendidikan dasar. Upaya lain juga akan dilakukan pemerintah, sehingga semua anak mendapatkan pendidikan. Pihak lain yang menjadi objek terkendalanya pemerataan pendidikan ini adalah pemerintah yang harusnya bertanggung jawab akan terlaksananya pencerdasan kehidupan bangsa. Padahal ada tambahan dana untuk sektor pendidikan sebesar Rp 15,612 triliun yang muncul sebagai dampak kenaikan anggaran belanja negara dalam APBN Perubahan 2011. Namun sekali lagi management yang carut marut membuat aliran dana tersebut tidak sejalan dengan apa yang seharusnya dilakukan. Dunia pendidikan merupakan sektor yang paling rawan korupsi, selain korupsi uang , disini juga rawan terjadi korupsi kebijakan, korupsi program, dan lain sebagainya. Hal ini terbukti dari pernyataan Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan, yang mengatakan bahwa kenaikan anggaran pendidikan bukan karena didasarkan kebutuhan, tetapi karena memenuhi konsekuensi kenaikan anggaran belanja. Itu terjadi karena Kemendiknas tidak menyiapkan desain program dan mata anggaran yang masih membutuhkan dana. Disinilah letak rawannya penyimpangan aliran dana pendidikan yang senantiasa menjadi lumbung korupsi yang berdampak pada minimnya tingkat kecerdasan anak bangsa karena tidak mengenyam pendidikan yang semestinya mereka dapatkan.

Penegakan HAM Di Ranah Jurnalistik (Opini Analisa)


Oleh : Eka Azwin Lubis

Saat kita mendengar kata jurnalis, lantas yang terfikir dalam benak kita adalah kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan untuk mencari, meliput, dan menyampaikan berita atau informasi – informasi penting kepada masyarakat luas dengan tujuan seluruh masyarakat didunia dapat mengetahui perkembangan situasi yang ada di daerah bahkan belahan dunia lain guna menjadi konsumsi publik. Namun sadarkah kita bahwa pekerjaan mulia ini terkadang sering terabaikan oleh publik karena peran mereka yang selalu berada dibalik layar pemberitaan. Sehingga tidak jarang peran mereka yang begitu urgen dalam mencari, meliput, dan menyampaikan berita sering terlupakan oleh masyarakat luas. Kaum jurnalistik yang akrab disapa dengan sebutan pers juga tidak jarang menemui hambatan dan rintangan dalam menjalankan tugas mereka sehari-hari karena berbagai macam halangan yang siap kapan saja dan dimana saja menggangu tugas mereka dengan berbagai alasan yang bersifat sentimen. Sesuai isi pasal 1 UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang berbunyi Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Jika mengacu pada penjelasan isi undang-undang tersebut, maka sudah sewajarnya kaum juru warta tersebut memiliki hak untuk meliput segala sesuatu hal yang bertujuan untuk konsumsi publik yang tentunya bersifat fakta dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Tetapi realita yang terjadi justru berkata lain, dimana para awak wartawan sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dalam menjalankan tugas jurnalistik mereka. Banyak kasus yang terjadi mengenai pelanggaran HAM didunia jurnalistik yang dialami oleh para wartawan baik saat mereka menjalankan tugas jurnalistik maupun saat mereka sedang tidak bertugas yang tentunya di latarbelakangi oleh ketidak senangan sebagian oknum yang merasa dirinya dirugikan oleh pemberitaan yang dilakukan oleh wartawan yang bersangkutan sehingga menciderai nama baik oknum yang bersangkutan. Ini merupakan hal yang konyol jika kita lihat dari sudut pandang profesionalitas. Sebab bukankah pemberitaan yang mereka muat adalah sesuatu hal yang bersifat real dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Apalagi jika kita melihat tentang adanya pemberitaan positif yang dapat menaikan citra seseorang atau lembaga yang dilakukan oleh para wartawan, sangat jarang ada respon positif yang diterima oleh kaum pers ataupun hanya sekedar ucapan terima kasih. Hal ini wajar karena sudah menjadi tugas dan kewajiban para wartawan untuk memuat dan menyampaikan setiap berita yang ada. Namun yang jadi pertanyaan adalah mengapa jika ada pemberitaan negatif yang memang nyata adanya, sering kali para wartawan atau bahkan kantor tempat wartawan tersebut bekerja menjadi sassaran kemarahan oknum atau pihak-pihak tertentu yang merasa dirugikan akibat pemberitaan yang dilakukan? Bukankah ini merupakan satu tindak diskriminatif terhadap para wartawan yang memiliki tugas peliputan berita yang ada dan itu di atur oleh UU No. 40 tahun 1999. Lalu diman lagi letak keadilan kepada kaum jurnalisme. Memang harus kita akui bahwa tidak jarang pula ada oknum yang sering memanfaatkan nama wartawan untuk mencapai kepentingan pribadi semata yang berakibat pada rusaknya citra wartawan dimata publik. Seperti dalam melakukan pungutan liar ke sekolah-sekolah atau instansi pemerintahan maupun swasta, banyak pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab menjual nama wartawan agar mendapat setoran dengan modus akan meliput berita-berita miring yang menyangkut tentang sekolah atau instansi-instansi tersebut. Tidak hanya itu, bahkan ada pula wartawan yang memang berprofesi sebagai wartawan melakukan peliputan liar diluar jam dinasnya sebagai wartawan demi mencari penghasilan tambahan yang berakibat pada rendahnya kepercayaan publik terhadap independensi profesi wartawan itu sendiri. Padahal sesuai pernyataan ketua PWI Cabang Sumatera Utara, Muhammad Syahrir dalam melakukan pemaparan makalahnya dengan materi : “Pendidikan HAM Bagi Jurnalis; Menuju Jurnalisme Berbasis HAM di Sumut” saat diskusi publik yang diadakan oleh Pusham Unimed yang bekerjasama dengan PWI Cabang Sumut dan Asian Agri yang mengusung tema “Jurnalisme Berbasis HAM” tanggal 6 Desember 2011 kemarin yang menjelaskan bahwa seseorang itu hanya berhak dikatakan wartawan apabila dia sedang melakukan tugas jurnalistik. Namun apabila seseorang itu tidak sedang melakukan tugas jurnalistik, dia bukanlah dikatakan wartawan, atau dengan kata lain profesi wartawan itu tidak bisa dipakai setiap saat. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah mengenai siapa saja yang berhak mendapat predikat sebagai seorang wartawan. Sebab jika kita melihat Undang-undang nomor 40 tahu 1999 yang mengatur tentang pers mengatakan bahwa setiap warga negara indonesia berhak mendirikan perusahaan pers tanpa ada kriteria tertentu yang mengaturnya asalkan perusahaan pers tersebut harus berbentuk badan hukum Indonesia. Ini mengindikasikan ketidaksakralan profesi wartawan dimata publik sehingga dapat merusak integritas oknum wartawan karena tidak adanya kriteria khusus bagi seseorang yang ingin menjadi wartawan yang berakibat pada munculnya wartawan-wartawan yang tidak profesional dalam menjalankan tugas jurnalistik. Padahal jika kita melihat pada zaman Orde Baru, seseorang yang ingin menjadi wartawan wajib menjadi anggota PWI yang membutuhkan waktu antara 8 sampai 10 tahun untuk berhak menjadi anggota PWI setelah melakukan serangkaian uji test dan training dalam peliputan berita. Dan setiap pejabat publik pada saat itu diberikan semacam buku putih yang berisi identitas wartawan yg tergabung dalam PWI, maka dengan sendirinya wartawan yg bukan anggota PWI tidak bisa melakukan wawancara apalagi melakukan pungutan liar. Sehingga setiap hal dan kegiatan yang dilakukan oleh para wartawan dapat di koordinir dengan baik tanpa ada penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oknum wartawan yang dapat merusak citra kaum jurnalis. Namun hal tersebut tidak berlaku lagi pada saat ini. Dengan dasar Hak Asasi Manusia, Era Reformasi mempersilahkan semua orang untuk bisa menjadi wartawan, mendirikan organisasi pers, dan lain-lain. Inilah yang mengakibatkan terjadinya ketidak profesionalan wartawan-wartawan instant dalam melaksanakan tugas jurnalistik yang akan merusak citra dari insan pers itu sendiri karena tingkah segelintir oknum wartawan yang memanfaatkan profesinya justru saat diluar tugas dinas jurnalistik. Kalau sudah begini bagaimana Hak-Hak para wartawan dapat di Protect dengan baik jika banyak perusahaan – perusahaan atau organisasi wartawan yang lahir dari produk instan yang tentunya sulit untuk melindungi Hak – Hak para wartawannya yang senantiasa terabaikan karena profesi mereka yang bersentuhan langsung dengan berbagai masalah yang ada. Apalagi banyak wartawan yang tidak dibekali pengetahuan yang memadai untuk mendukung profesi meraka yang selalu bersentuhan dengan beragam kejadia yang berbada – beda. Karena hal yang paling dituntut dari para wartawan bukanlah gayanya tetapi karyanya sesuai yang disampaikan oleh M. Syahrir. satu hal yang harus kita pahami jika kita membicarakan masalah penegakkan HAM dikalangan jurnalistik yaitu bahwa gaung dari jurnalisme berbasis HAM sangat tipis, gemanya tidak menonjol khususnya di Sumut. Dimana seharusnya insan pers harus lebih responsif dalam melaksanakan jurnalisme yang berbasis HAM, seperti yang diutarakan Wardjamil dalam diskusi publik tersebut. Apalagi sering kali sajian – sajian media sering dikaitkan dengan isu Hak Asasi Manusia, namun mengapa hingga saat ini jurnalisme sangat jarang yang berbasis HAM. Hal Ini tidak lain dikarenakan pemahaman yang rendah insan media terhadap Hak Asasi Manusia. sebab seberapa jauh pers memahami kebebasan pers yang dibatasi oleh HAM adalah hal yang paling urgen. Harus diakui pula, para wartawan juga tidak jarang mengabaikan hak-hak orang lain dalam memuat berita, seperti apabila ada oknum pejabat yang tersandung masalak korupsai, tidak hany oknum yang bersangkutan saja yang namanya mencuat kepermukaan, melainkan juga pihak keluarga oknum yang bersangkutan tidak jarang ikut terseret dan terbawa-bawa dalam pemberitaan media. Disini sekali lagi sangat dibutuhkan keprofesionalan dari awak media dalam memuat pemberitaan yang ada, jangan sampai merugikan pihak-pihak lain yang tidak terlibat secara langsung dalam suatu masalah. Karena wartawan tidak berhak melakukan asas praduga tak bersalah, sebab yang berhak memvonis seseorang bersalah atau tidak bukanlah tugas dari wartawan. Wartawan hanya berhak memuat berita fakta yang ada dan biarkan publik yang menilainya sendiri. Begitu juga halnya publik, kedewasaan publik sangat dibutuhkan dalam terwujudnya perlindungan Hak Asasi Manusia bagi pers yang termasuk golongan rentan pelanggaran HAM.

Senin, 28 Mei 2012

Kontroversi RUU Ormas

Oleh : Eka Azwin Lubis

Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Pasal 28E ayat 3 Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut merupakan jaminan hukum yang diberikan oleh negara kepada seluruh warga negara Indonesia untuk bebas melakukan kegiatan berkumpulan dan berserikat untuk mencapai tujuan–tujuan tertentu yang tidak melanggar ketertiban kehidupan bernegara. Sama – sama kita ketahui Indonesia merupakan negara kesatuan yang diisi oleh warga negara yang memiliki berbagai macam latar belakang yang berbeda – beda. Sudah hal yang lumrah jika banyak persepsi yang muncul ditengah perbedaan –perbedaan tersebut. Namun adakalanya masyarakat Indonesia yang plural tadi disatukan dalam satu wadah yang merupakan arena berserikat atau berkumpul untuk mencapai satu visi yang sama diantara sesama anggota organisasi tersebut. Banyak organisasi – organisasi yang merupakan naungan bagi sekelompok orang untuk berkumpul yang muncul di Indonesia bahkan jauh sebelum negara ini lahir. Tentu kita masih ingat organisasi Budi Utomo yang berdiri pada tahun 1908 sebagai wadah bagi para pejuang Indonesia yang ingin menggelorakan semangat kemerdekaan pada saat itu. Hingga kini hari lahirnya Budi Utomo tetap kita peringati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Selain itu ada benyak organisasi yang ada di Indonesia baik itu yang bersifat keagamaan, kedaerahan, atau bahkan kemahasiswaan yang kesemuanya merupakan wadah berkumpul bagi sekelompok orang yang memiliki satu pemahaman dan tujuan yang sama. Pada tahun 1928 yang merupakan momentum dimana para pemuda yang tergabung dalam organisasi kedaerahannya masing – masing seperti Jong Celebes, Jong Java, Jong Minahasa, Jong Sumatra Bond, dll, melakukan satu pertemuan dan menghasilkan Sumpah Pemuda yang didalam sumpah tersebut terdapat tiga poin penting sebagai alat pemersatu bangsa yang saat itu masih terpecah belah. Ini merupakan gambaran bagaimana organisasi – organisasi kemasyarakatan sudah muncul jauh sebelum negara ini merdeka dan memberi dampak positif dalam membangun semangat kebangsaan. Belum lagi organisasi – organisasi yang berlatar belakang keagamaan seperti Muhammadiyah yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada tahun 1912 dan Nahdlatul Ulama yang didirikan oleh KH Hasyim Azhari, yang juga eksis sebagai wadah pemersatu masyarakat sipil yang memiliki persamaan persepsi dan pandangan hidup. Organisasi – organisasi tersebut selain bertujuan sebagai wadah berkumpulnya sebagian orang, namun juga memiliki peran vital dalam goresan sejarah untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Sebab melalui pemahaman – pemahaman yang diberikan dalam organisasi tersebutlah semangat kebangsaan yang merindukan kemerdekaan muncul. Tidak hanya di Indonesia saja semangat berorganisasi lahir ditengah – tengah kehidupan masyarakat, Bahkan jauh di Negeri Belanda, para pelajar Indonesia yang menimbah ilmu disana juga ikut mendirikan organisasi yang bertujuan menghimpun kekuatan bagi kaum intelektual untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Organisasi tersebut dinamakan Himpunan Indonesia ( HI ) dengan salah satu motor penggeraknya adalah Muhammad Hatta yang juga merupakan salah seorang proklamator kemerdekaan Indonesia. Sehingga organisasi – organisasi inilah yang menjadi salah satu faktor kuat untuk memuncul perlawanan yang pada akhirnya kemerdekaan Indonesia tahun 1945 benar – benar diraih. Seiring dengan kehidupan bernegara yang telah mengalami kemerdekaan, semangat berorganisasi juga perlahan semakin berkembang ditengah kehidupan masyarakat. Banyak organisasi yang lahir pasca kemerdekaan. Tidak hanya organisasi yang dibawah naungan pemerintah, namun organisasi yang tidak dibawah naungan pemerintah juga subur bermunculan dalam mewarnai kebebasan berserikat dan berkumpul yang memang sudah diatur dalam pasal yang dijelaskan dipembuka tulisan tadi. Organisasi – organisasi kemasyarakatan yang lebih tenar disebut Ormas ini juga beragam jenisnya. Dari mulai Organisasi Kepemudaan ( OKP ), Lembaga Swadaya Masyarakat ( LSM ) yang juga sering dikenal sebagai Non Govermant Organisation ( NGO ), Organisasi Sosial (Orsos), dan Organisasi Profesi. Kesemua Ormas ini memiliki visi yang sama – sama positif dalam rangka membangun bangsa dengan membina anggotanya dan bahkan masyarakat luas tanpa harus keluar dan melanggar koridor – koridor aturan hukum yang ada. Sehingga keberadaan Ormas – ormas ini sedikit banyak membantu peran pemerintah dalam mentatar kehidupan masyarakat sipil yang selama ini jauh dari kepedulian pemerintah. Eksistensi Ormas yang Mulai Terancam Seperti yang dijelaskan diatas bahwa pasca kemerdekaan Indonesia banyak Ormas yang bermunculan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sehingga pada tahun 1985 pemerintah mengeluarkan Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Undang – Undang ini lahir dengan semangat mengontrol dan merepresi dinamika organisasi kemasyarakatan dan merupakan salah satu acuan hukum yang dibuat pemerintah untuk mengatur kehidupan berorganisasi di Indonesia. Padahal menurut KKB ( Koalisi Kebebasan Berserikat ) bentuk Ormas sendiri adalah bentuk yang sebetulnya tidak memiliki tempat dalam kerangka hukum di Indonesia, namun dipaksakan karena kebutuhan Rezim Orde Baru pada saat itu ingin menerapkan konsep wadah tunggalnya. Sehingga ada sebagaian kalangan yang berasumsi bahwa Undang – Undang ini hanya bermaksud sebagai doktrin pemerintah untuk melokalisir satu kelompok yang dianggap sejenis dalam satu wadah yang sah sehingga mudah untuk dikontrol karena nantinya hanya akan ada satu wadah untuk setiap jenis kelompok. Namun ada satu hal yang unik didalam Undang – Undang ini dimana ada pasal yang mengatur masalah pembekuan dan pembubaran ( 13 dan 14 ) ssebuah organisasi oleh pemerintah apabila melanggar beberapa poin yang juga diatur dalam pasal tersebut tanpa mensyaratkan proses pengadilan yang adil dan berimbang. Ini menjadi satu hal yang sangat rancuh dimana apabila ada sebuah organisasi yang melanggar aturan dan dibubarkan oleh pemrintah, tidak ada kesempatan bagi mereka untuk membela diri didepan hukum yang berlaku. Tidak hanya sampai disitu kekisruhan mengenai peraturan yang mengatur kehidupan berorganisasi di Indonesia. Sebab diera reformasi ini dimana kebebasan berdemokrasi semakin terjamin justru timbul wacana dari pemerintah yang cukup menyita perhatian masyarakat Indonesia terutama mereka yang bergelut dalam dunia organisasi masyarakat. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia ( DPR RI ) menggagas satu Rancangan Undang – Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan. Mereka beranggapan bahwa Undang – Undang Nomor 8 tahun 1985 yang selama ini mengatur tentang Ormas sudah tidak lagi representatif dengan dinamikan Ormas yang ada saat ini. Alasan - alasan yang mendasar dari digagasnya Rancangan Undang – Undang ini adalah bagaimana tidak ada spesifikasi aturan yang jelas mengenai sanksi yang dijatuhkan terhadap Ormas apabila melanggar aturan, selain pembekuan dan pembubaran. Selain itu ada tudingan bahwa terdapat beberapa Ormas yang selama ini justru menjadi wadah bernaungnya para teroris yang senantiasa menyebar ancaman di Indonesia. Alasan lain dari DPR untuk menggagas RUU ini adalah tidak adanya transparansi dari Ormas yang menerima dana baik itu dari dalam maupun luar negeri. Sehingga melalui Panitia Khusus ( Pansus ) yang dibentuk untuk melakukan konsolidasi RUU ini kebeberapa daerah seperti Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara, diharapkan anggota DPR dapat menyusun satu landasan hukum yang lebih tegas dan spesifik dalam mengatur kehidupan Organisasi Masyarakat. Pada saat melakukan Kunjungan Kerja untuk konsolidasi RUU tentang Ormas ini di Medan, Pansus yang diketuai oleh Dr. H. Deding Ishak, SH, MH dari partai Golkar, melakukan dengar pendapat dengan Muspida Sumut, Civitas Akademik yang ada dikota Medan seperti USU, Unimed, UISU, UMSU, dan Nommensen, serta beberapa organisasi masyarakat seperti MUI, PGI, KNPI, Puja Kesuma, MABMI. Mereka berharap hasil dari dengar pendapat dari beberapa kalangan terkait ini dapat menjadi bahan rujukan untuk menambah muatan dalam RUU tersebut agar lebih responsif terhadap dinamika keberadaan Ormas kedepannya. Namun disisi lain para penggiat Organisasi Kemasyarakatan seperti yang berada dikota Medan justru menganggap gagasan tentang RUU Ormas ini sebagai satu bentuk pengekangan kehidupan berdemokrasi di Indonesia dan RUU ini dikhawatirkan akan mengalami tumpang tindih dengan aturan – aturan sejenis yang telah ada sebelumnya. Sehingga mereka yang tergabung dalam Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) Sumatera Utara yang terdiri dari beberapa Ormas dikota medan meyatakan sikap dengan tegas menolak RUU tersebut. Undang – Undang Nomor 8 tahun 1985 tentang Ormas ini tidak seharusnya untuk direvisi sehingga menjadikan Undang – Undang Ormas yang baru, melainkan harus dicabut keberadaannya karena dianggap sebagai penjerat berbagai organisasi yang selama ini kritis terhadap kebijakan pemerintah. Apabila pemerintah butuh produk hukum yang akurat untuk mengatur tentang permasalahan organisasi – organisasi di Indonesia, bukankah sudah ada Undang – Undang Nomor 28 tahun 2004 tentang yayasan dan Staatblad tentang perkumpulan. Jika yang menjadi permasalahan adalah tidak adanya spesifikasi sanksi bagi Ormas yang melanggar aturan hukum, bukankah sudah ada Kitab Undang – Undang Hukum Pidana ( KUHP ) yang dengan tegas mengatur sanksi dari segala bentuk pelanggaran oleh masyarakat. Anggapan dari anggota DPR bahwa Ormas selama ini tidak transparan dalam hal keuangan dan yang lainnya, seharusnya ada rujukan yang pas untuk mengatur hal itu yakni Undang – Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dan jika memang benar terbukti ada Ormas yang menaungi para teroris di Indonesia ada Undang – Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Anti Terorisme yang menjadi aturan rujukan. Oleh sebab itu RUU tentang Ormas ini dikhawatirkan pada akhirnya akan menjadi pemicu kerenggangan antara pemerintah dengan Ormas – Ormas yang selama ini banyak membantu kinerja pemerintah dalam hal membina kehidupan masyarakat meskipun tanpa harus mendapat kucuran dana dari pemerintah.

Minggu, 27 Mei 2012

Apresiasi Buat Polri

Oleh : Eka Azwin Lubis

Aksi unjuk rasa menentang kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) terus terjadi hampir diseluruh Indonesia. Setiap hari para demonstran terus menyuarakan keinginan mereka agar pemerintah urung melaksanakan niatnya untuk menaikan harga BBM yang hanya akan menambah beban hidup mayoritas masyarakat Indonesia yang notabenenya masih berada dibawah garis kemiskinan. Dari mulai kelompok Mahasiswa yang tergabung dalam beraneka ragam organisasi, belum lagi Organisasi Masyarakat yang semakin bartambah banyak jumlahnya menjelang kenaikan harga BBM ini, hingga mereka yang bersatu karena didasarkan persamaan pekerjaan. Aspirasi mereka semua sama, yakni menuntut pemerintah untuk menarik wacana menaikan harga BBM satu April mendatang. Seandainya BBM benar-benar naik, maka semua kebutuhan pokok termasuk tarif berbagai angkutan umum juga ikut melonjak harganya. Dampak yang dihasilkan dari naiknya harga BBM yang mulanya 4.500 rupiah menjadi 6.000 rupiah sangatlah sistemik. Sebab tidak bisa dipungkiri bahwa BBM merupakan satu hal yang urgen untuk menggerakan roda perekonomian bangsa. Pemerintah sendiri yang memiliki gagasan ini berdalih bahwa naiknya harga BBM bertujuan untuk menyelamatkan kas APBN karena harga minyak dunia saat ini sedang melambung tinggi, sehingga subsidi BBM harus dicabut agar kas negara tidak terancam habis karena terus digunakan untuk mensubsidi BBM. Konsolidasi antara pemerintah eksekutif yang dipimpin oleh presiden SBY dengan pemerintah legislatif pusat, menghasilkan mayoritas suara untuk mendukung kenaikan harga BBM. Praktis hanya beberapa fraksi oposisi saja di DPR yang menolak harga BBM untuk dinaikan. Sementara mayoritas fraksi koalisi dari pemerintah memilih setuju agar harga BBM dinaikan meskipun mereka paham bahwa akan ada banyak penolakan keras yang timbul seiring dicetuskannnya wacana tersebut. Benar saja, begitu wacana pemerintah untuk menaikan harga BBM diawal bulan April dipublikasikan, langsung mendapat respon keras berupa penolakan dari masyarakat dihampir seluruh penjuru negeri ini. Penolakan tersebut bahkan tidak jarang berakhir ricuh karena massa merasa pemerintah tidak welcome dalam merespon tuntutan mereka yang menolak naiknay harga BBM. Ditambah lagi kebanyakan pemerintah daerah yang menjadi targetan dari aksi massa didaerah menyatakan bahwa mereka tidak punya kewenangan untuk menolak atau juga mendukung kenaikan harga BBM yang diwacanakan oleh pemerintah pusat. Para pemimpin daerah justru berdalih bahwa bagaimanapun aksi yang terjadi didaerah masing-masing, mereka tetap tidak punya kemampuan untuk merubah kebijakan yang telah disepakatai ditataran pemerintahan pusat. Mereka hanya menyarankan agar para pengunjuk rasa bersedia menuliskan tuntutannya agar kemudian disampaikan kepada pemerintah pusat melalui pemerintah daerah untuk menjadi bahan evaluasi dalam menetapkan kebijakan menaikan harga BBM satu April. Sementara di Jakarta sendiri, tempat dimana Presiden sebagai pembuat kebijakan bermukim, aksi juga dilakukan secara masal di kantor-kantor pemerintahan bahkan di Istana Negara. Namun naas memang bagi rakyat Indonesia yang saat ini masih belum memiliki sosok seorang pemimpin. Sebab Presiden SBY yang hanya sekedar seorang pimpinan negeri ini justru tega meninggalkan Indonesia yang sedang mengalami gejolak. Beliau lebih disibukan untuk berkunjung ke China dan Korea Selatan bersama para Mahasiswa dan tokoh pemuda yang disinyalir sebagai upaya untuk meredam aksi massa yang lebih besar yang menolak kenaikan harga BBM. Aneh memang ketika negara sedang bergejolak kerana kebijakan yang dibuat pemerintah dan dikhawatirkan akan berdampak pada bertambah sulitnya perekonomian rakyat, Presiden yang merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan justru tidak ada ditempat untuk mendengarkan berbagai tuntutan rakyatnya. Sungguh satu hal yang ironis dimana sang pembuat kebijakan yang menentukan nasib rakyat banyak, harus pergi keluar negeri dengan meninggalkan rakyatnya yang meraung meminta belas kasihan dari pemerintahnya untuk tidak kembali menambah beban hidup mereka. Terlepas dari keanehan itu semua, jika kita mencermati berbagai aksi unjuk rasa untuk menolak kenaikan harga BBM yang terjadi hampir diseluruh daerah di Indonesia, ada satu hal yang urgen namun sering terlupakan oleh kita semua yakni peran aparat Kepolisian yang pada dasarnya tidak terlibat dalam membuat kebijakan untuk menaikan harga BBM, tapi justru menjadi benteng terdepan dari pemerintah untuk menghalau serbuan pengunjuk rasa yang menuntut agar harga BBM tidak dinaikan. Hal ini memang bukanlah sesuatu yang aneh mengingat tugas dan wewenang para korps baju cokelat tersebut adalah untuk menjaga ketertiban dan keamanan negara. Sehingga apabila ada aksi unjuk rasa yang terjadi, maka merekalah yang bertanggung jawab untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum. Walau terkadang banyak fenomena yang menciderai citra kepolisian yang dilakukan oleh sebagian oknum polisi yang tidak bertanggung jawab sehingga menghilangkan simpati dari masyarakat akan kinerja mereka yang sebenarnya sangat berat dan penuh tanggung jawab. Terutama disaat-saat seperti ini, bagaimana meraka dituntut untuk bekerja ekstra dalam menjaga dan mengawal jalannya unjuk rasa dan mengantisipasi adanya tindakan anarkis dari pengunjuk rasa. Sehingga tidak salah jika kita memberi apresiasi yang setinggi-tingginya kepada aparat kepolisian yang rela ikut berpanas-panasan, berlelah letih, bahkan terkadang harus berlarian tunggang langgang menghindari amukan massa karena suasana unjuk rasa yang sudah sangat tidak kondusif. Tetap Siaga Meski Lelah Kata tersebut cocok dan nyata jika melihat apa yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam mengawal dan menertibkan pengunjuk rasa yang ingin menyampaikan tuntutan agar harga BBM tidak jadi dinaikan oleh pemerintah. Kita harus jujur menyatakan bahwa rasa lelah yang dirasakan oleh para pengunjuk rasa dalam menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah, juga dialami oleh pihak kepolisian yang tetap siaga menjaga dan mengawal jalannya unjuk rasa. Sebab sebelum pengunjuk rasa datang kelokasi unjuk rasa dilakukan, personil kepolisian telah terlebih dahulu bersiaga menunggu massa yang ingin unjuk rasa datang. Begitu para pengunjuk rasa datang, maka kesiagaan mereka juga seketika ditingkatkan untuk mengantisipasi seandainya terjadi tindak anarkis dan bentrokan oleh pengunjuk rasa yang tidak puas karena tuntutan mereka yang tidak ditanggapi oleh pemerintah. Polisi juga merupakan pihak yang memediasi untuk mempertemukan pengunjuk rasa dengan pemerintah. Apabila pengunjuk rasa telah selesai menyampaikan aspirasinya dan kembali pulang ketempatnya masing-masing, aparat kepolisian masih tetap tinggal dan bersiaga ditempat unjuk rasa dilakukan untuk mengantisipasi apabila ada aksi susulan yang dilakukan oleh massa yang belum puas dengan aksi yang telah mereka lakukan sebelumnya. Hingga suasana benar-benar kondusif dan dipastikan tidak ada lagi aksi susulan, baru aparat kepolisian meninggalkan lokasi unjuk rasa. Caci maki dan hujatan tidak jarang tertuju pada mereka yang sebenarnya tidak memiliki peran dalam membuat kebijakan untuk menaikan harga BBM tersebut. Bahkan apabila massa yang ramai mulai emosi karena tidak ada pihak pemerintah yang mendengar aspirasi meraka, polisi lah yang kembali menjadi sasaran kemaran dari pengunjuk rasa yang tidak jarang pula berakhir pada bentrokan antara polisi dan massa. Sudah menjadi hal yang lumrah jika polisi bermohon atau kadang sedikit memelas kepada pengunjuk rasa agar tidak bertindak anarkis dalam menyampaikan aspirasinya. Namun permintaan tersebut sangat jarang digubris oleh pengunjuk rasa yang kecewa pada pemerintah dan akhirnya tetap melakukan tindakan-tindakan anarkis. Padahal kalau ditanya satu persatu tanggapan aparat kepolisian yang bertugas untuk mengawal unjuk rasa menolak kenaikan harga BBM, mayoritas diantara mereka juga menolak kenaikan harga BBM ini. Karena meraka juga paham bahwa naiknya BBM tidak hanya akan dirasakan oleh sebagian orang saja, melainkan semua orang termasuk mereka aparat kepolisian. Namun sikap mereka yang melarang para pengunjuk rasa untuk bertindak anarkis merupakan tuntutan tugas yang mereka emban sebagai aparat yang harus bisa menciptakan keamanan dan kondusifitas umum meski dalam keadaan apapun. Sudah saatnya kita bijak dalam berfikir, polisi tidak selamanya menjadi satuan yang harus mendapat antipati dari masyarakat. Dan kita harus benar-benar berani jujur untuk mengapresiasi bagaimana peran mulia mereka dalam mengawal dan memediasi antara pengujuk rasa yang ingin menyampaikan aspirasinya dengan pihak pemerintah. Meskipun masih ada oknum-oknum polisi nakal terutama meraka yang bertugas di satuan lalu lintas dan sering menimbulkan fobia pada masyarakat karena tindakannya menilang ala damai ditempat sehingga membuat masyarakat hilang simpati terhadap polisi. Namun apresiasi akan kerja keras mereka sebagai garda terdepan untuk mengamankan, memediasi, dan menjadi sahabat setia yang selalu menemani para pengunjuk rasa dalam menolak naiknya harga BBM, harus kita berikan kepada pihak kepolisian.