Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Story of MALANG

Kongres Himnas PKn 2011.

Story of Bandung

Kongres Himnas PKn 2012.

Story of Pandeglang

LK II HMI Cab. Pandeglang.

Aksi Kamisan

SeHAMA Angkatan IV 2012.

Debat Dengan Raja Minyak

Arya Duta Hotel - Medan 2011.

Minggu, 18 Maret 2012

Timnas Kita Spesialis Runner-Up (Opini Analisa)


Oleh : Eka Azwin Lubis

Sepakbola merupakan olahraga paling digandrungi dimuka bumi ini. Hampir semua manusia dipenjuru dunia meminati olahraga sebelas lawan sebelas ini. Tidak hanya kaum adam saja yang kecanduan akan magnet sepakbola, dewasa ini kaum hawa juga tidak mau ketinggalan untuk menikmati olahraga yang berasal dari Inggris tersebut. Tak heran jika ada Tournament atau sekedar pertandingan persahabatan semata, para penggila sepakbola rela meninggalkan segala aktivitasnya sejenak demi menyaksikan pertandingan sepakbola meski hanya lewat layar kaca.
Karena betapa sangat diminatinya olahraga ini maka sekarang sepakbola tidak hanya sekedar salah satu cabang olahraga yang bertujuan untuk menghibur para penontonnya, namun jauh dari situ sepakbola saat ini telah menjadi lahan bisnis tersendiri bagi mereka yang memang konsisten menjadikan sepakbola menjadi profesi yang ideal dalam hidupnya.
Seolah saat ini tidak ada yang lebih tinggi nilainya dari sekedar gengsi sepakbola. Kita bisa bayangkan bagaimana sebuah klub mampu menggaji seorang pemainnya dengan bayaran dua milyar perpekan. Hal ini bukanlah sesuatu yang aneh dalam dunia sepakbola, karena tradisi membayar seorang pemain sepakbola dengan gaji tinggi seperti ini sudah merambah hampir diseluruh penjuru dunia.
Tidak terkecuali dinegara kita tercinta, Indonesia. Sama halnya seperti negara-negara lain yang mendewakan sepakbola sebagai salah satu element pemersatu. Indonesia juga mulai menjadikan sepakbola sebagai wadah tersendiri untuk meningkatkan kebersamaan dan persaudaraan seperti cita – cita sepakbola itu sendiri yang ingin menjadikan semua manusia dipandang sama rata tanpa mengedepankan rasisme.
Lebih dari itu, jika kita bicara sepakbola dalam konteks nasional maka kita akan menemukan satu fenomena unik yang terkandung dalam magic sepakbola nasional. Tidak akan kita temui gemuruh semangat para rakyat Indonesia untuk bersama – sama menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya melebihi apa yang terjadi di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta menjelang Tim Nasional kita bertanding. Rasa kebangsaan spontan hadir menyapa setiap orang Indonesia diseluruh pelosok negeri terutama mereka yang hadir didalam stadion. Euforia yang begitu dahsyat senantiasa menemani punggawa Timnas setiap kali bertanding terutama dihadapan publik sendiri.
Bahkan tak ayal jika banyak pemain atau suporter dari negara lain yang terkesima dengan dukungan yang diberi oleh para suporter kita yang memang dikenal penuh dengan kreatifitas dalam setiap kali memberi dukungannya.
Mungkin sebagian kita masih merasa malu untuk secara jujur membanggakan prestasi Indonesia yang belakangan memang sangat jauh dari harapan. Namun satu hal menarik jika kita lihat sejarah sepakbola, dimana Indonesia merupakan negara Asia pertama yang berpartisipasi di Piala Dunia. Saat itu negara kita masih menggunakan nama Hindia-Belanda karena pada keikutsertaannya tersebut ditahun 1934 di Prancis, Indonesia masih merupakan negara jajahan dari Belanda, sehingga pemain yang mengikuti kejuaraan empat tahunan tersebut sebagian asli orang Indonesia, sebagian orang Belanda yang bermukim di Indonesia, dan ditambah dua orang keturunan Tionghoa yang tinggal di Indonesia. Saat itu Indonesia langsung gugur dibabak pertama karena dihajar Hungaria dengan skor telak 6-0. Namun ini merupakan satu prestasi tersendiri bagi Timnas sepakbola Indonesia yang sebenarnya banyak orang yang belum mengetahuinya.

Berkutat Pada Peringkat Kedua

Saat ini sepakbola Indonesia bisa dikatakan mengalami kemunduran yang sangat signifikan. Jika dahulu timnas kita merupakan salah satu tim yang sangat diperhitungkan ditataran sepakbola Asia, namun saat ini untuk level Asia Tenggara saja timnas kita mengalami kemerosotan prestasi. Apalagi baru – baru ini Timnas sepakbola kita baru membuat rekor kemasukan gol terbanyak sepanjang sejarah sepakbola Timnas Indonesia.
Dalam penyisihan grup Pra Piala Dunia 2014 di Brazil, Timnas kita sama sekali tidak meraih angka dalam enam kali pertandingan. Bahkan yang paling ironis pada pertandingan terakhir melawan Bahrain yang digelar dikandang Bahrain, Timnas kita yang diisi oleh para pemain muda yang sebenarnya terkesan dipaksakan untuk mengikuti pertandingan dihajar 10 gol tanpa balas. Pasukan Aji Santoso ini merupakan para pemain yang dipersiapkan PSSI untuk menggantikan posisi pemain-pemian Timnas senior yang sesungguhnya yang kebetulan berlaga di Liga yang bersebrangan dengan PSSI.
Namun begitu bukan berarti Timnas kita juga tanpa prestasi sama sekali. Jika beberapa tahun belakangan kita selalu bersaing ketat dengan Thailand dan Singapura dilevel Asia Tenggara, saat ini Timnas Indonesia masih yang paling eksis jika bicara prestasi dibanding kedua negara tersebut.

Dominasi Negeri Gajah Putih dan Negeri Singa ini belakangan mulai meredup diberbagai kejuaraan sepakbola Asia Tenggara. Dahulu kedua negara tersebut yang selalu menjadi saingan Indonesia di Final berbagai kejuaraan sepakbola, mulai dari Sea Games sampai Piala Tiger yang sekarang berganti nama menjadi Piala Asean Football Federation (AFF). Terhitung tiga kali berturut – turut dalam gelaran Piala Tiger Indonesia menempati peringkat kedua alias Runner -Up.
Pada partai final kejuaraan yang digelar setiap dua tahun sekali ini tahun 2000 Indonesia dikalahkan Timnas Thailand yang saat itu bertindak sebagai tuan rumah. Indonesia keluar sebagai Runner-Up Piala Tiger untuk pertama kalinya. Meskipun saat itu striker Timnas, Gendut Doni mendapat predikat Top Skore namun impian Indonesia untuk menjadi kampiun harus pupus ditangan negerinya Raja Bhumibol Adulyadej tersebut.
Dua tahun berselang tepatnya tahun 2002, Indonesia kembali berjumpa Thailand dipartai Final kejuaran yang sama. Lagi lagi Timnas kita harus mengakui kehebatan Thailand dipartai penentuan tersebut. Dan Indonesia harus puas diposisi Runner-Up untuk kedua kalinya. Yang unik striker Timnas kita, Bambang Pamungkas juga kembali keluar sebagai Top Skore pada kejuaraan tersebut dengan mencetak 8 gol.
Tidak sampai disitu, Indonesia kembali melaju kepartai final piala Tiger untu ketiga kalinya secara berturut - turut pada tahun 2004. Saat itu lawan yang dihadapi adalah Singapura yang diperkuat oleh beberapa pemain Naturalisasi. Kembali lagi Timnas kita harus puas menduduki peringkat kedua atau Runner-Up setelah dipartai final dihempaskan oleh negeri yang bertetangga dengan pulau batam tersebut. Dan kembali lagi striker Indonesia, Ilham Jaya Kusuma keluar sebagai top skor dengan 7 golnya.
Namun belakangan setelah prestasi kedua negara saingan Indonesia di final tersebut mulai pudar, Predikat sebagai negara Runner – Up belum juga lepas dari Tim yang berjuluk Garuda Merah Putih ini.
Terbukti saat Piala AFF kembali digelar pada tahun 2010 lalu, dimana Indonesia satu dari dua negara yang bertindak sebagai tuan rumah bersama Vietnam. Langkah awal pasukan yang diarsiteki pelatih asal Austria, Alfred Riedl ini terbilang funtastis. Pada penyisihan grup saja Timnas kita mampu menghajar Malaysia dengan skor 5-1, Laos 6-0, dan terakhir Thailand dengan skor 2-1. Saat melaju kebabak semifinal Timnas kita yang diperkuat dua pemain Naturalisasi, Irfan Bachdim dan Cristian Gonzales harus bertemu tim kuda hitam Filiphina. Namun Timnas merah putih berhasil mengatasi langkah Filiphina dibabak empat besar tersebut dengan agregate 2-0.
Tiba pada partai puncak kejuaraan, lawan yang dihadapi bukan lagi Thailand yang dikenal pantang menyerah atau Singapura dengan pemain Naturalisasinya, namun lawan yang dihadapi adalah Malaysia yang dibabak penyisihan berhasil ditundukan dengan skor telak 5-1. Tapi agaknya julukan sebagai Timnas Runner-Up belum bisa hilang dari Timnas kita. Kembali Indonesia dipaksa menyerah dengan agregate 4-2 oleh pemain – pemain negeri jiran. Harapan untuk menjadi juara kembali pudar seiring munculnya juara baru Malaysia yang dahulu senantiasa kita pecundangi.
Tidak hanya sampai disitu, masih ditahun yang sama, pesta olahraga sekawasan Asia Tenggara, Sea Games juga digelar di Indonesia. Sebanyak 44 cabang olahraga dipertandingkan disini. Namun tetap sepakbola mendapat perhatian khusus bagi seluruh penggemar olahraga. Meskipun medali emas yang diperebutkan hanya satu, namun gengsi persaingan di cabang sepakbola memberi makna tersendiri.
Timnas usia 23 tahun yang dimotori Tibo, Andik, Petrick Wanggai, dan lain-lain, menyuguhkan permainan sepakbola indah khas anak muda Indonesia yang inovatif dan energik. Permainan sempurna mulai babak penyisihan grup sampai semifinal memberi semacam angin segar bagi seluruh rakyat Indonesia yang rindu akan gelar juara. Secerca harapan diberikan kepada Garuda Muda yang berlaga diajang multievent tersebut.
Tibalah partai puncak yang kembali mempertemukan Timnas kita melawan Timnas Malaysia. Meski sempat unggul terlebih dahulu sebelum disamakan kedudukan oleh Malaysia, akhirnya Indonesia kembali keluar sebagai Runner-Up pasca kalah adu pinalti. Kekalahan ini merupakan pukulan telak bagi kita karena dua kali negeri jiran berpesta dirumah kita sendiri.
Predikat Runner – Up ternyata memang akrab bagi Timnas sepakbola kita. Apalagi ditambah kemarin Timnas Usia 21 tahun kita yang berlaga di Tournament Trofi Hassanal Bolkiah di Brunei kembali menjadi Runner-Up. Brunei Darussalam yang selama ini selalu menjadi lawan yang mudah untuk dikalahkan, keluar sebagai juara pada kejuaraan ini. Indonesia yang tampil meyakinkan dibabak semifinal dengan melibas Vietnam 2-0, seolah tak berdaya meladeni permainan Brunei. Final melawan Brunei kemarin merupakan final ketiga Indonesia dikejuaraan yang tersebut. Dari tiga kali final yang dilalui hanya sekali pada tahun 2001 Indonesia mampu menjadi juara. Selebihnya pada tahun 2005 Indonesia hanya menjadi Runner-Up setelah dikalahkan Thailand dipartai puncak. Dan terakhir adalah yang kemarin terjadi dimana Andik Vermansyah, dan kawan-kawan harus mengakui keunggulan Brunei dipartai final. Ini menambah panjang sejarah bahwasannya Timnas sepakbola kita memang spesialis Runner-Up atau juara kedua diberbagai kejuaraan sepakbola yang diikuti.***


Penulis adalah Kabid PTKP HMI FIS dan Staf Pusham Unimed

Masihkah Indonesia Bangsa yang Santun (Opini Analisa)


Oleh : Eka Azwin Lubis

Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum tersebut tidak hanya menjadi dasar hukum tentang kebebasan menyampaikan pendapat bagi rakyat Indonesia, namun juga seolah menjadi alasan bagi setiap orang untuk merdeka menggaungkan apapun yang ia inginkan kemuka umum baik itu berdampak positif maupun negatif. Mereka tidak peduli dengan apa substansi disahkannya Undang-Undang tersebut, namun yang lebih tampak adalah bagaimana mereka berfikir bahwa dengan Undang-Undang tersebut hak untuk menyampaikan pendapat dengan beragam cara dibenarkan karena landasan hukum dari Undang-Undang tersebut tanpa pernah mengkaji tanggung jawab moral yang mereka emban melekat sembari pendapat yang mereka lontarkan menjadi konsumsi publik.
Sehingga tidak jarang banyak rakyat Indonesia yang kebablasan dalam mengimplementasikan hak berpendapat mereka yang sering berujung pada terlanggarnya hak-hak orang lain akibat mereka yang dalam menyampaikan pendapat dilakukan dengan cara-cara diluar koridor aturan yang ada. Namun hal tersebut bagi sebahagian besar rakyat Indonesia seakan bukan hal yang urgen untuk dikaji mengingat anggapan mereka bahwa Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk: mengeluarkan pikiran secara bebas; memperoleh perlindungan hukum. Sesuai isi pasal 5 Undang-Undang tersebut.

Padahal jika kita cermati, isi pasal 1 ayat 1 dalam Undang-Undang tersebut diakhiri dengan tata cara atau ketentuan dalam menyampaikan pendapat yang diatur oleh pasal-pasal berikutnya dalam Undang-Undang tersebut. Namun bangsa kita seolah ternyamankan dengan ketidaktahuannya atau sengaja menidaktaukan diri akan kaitan pasal-pasal selanjutnya yang menjelaskan isi pasal 1 ayat 1 tersebut.

Seperti yang ditegaskan dalam pasal 6 Undang-Undang No. 9 tahun 1998 tersebut yang menyatakan bahwa Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain; menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum; menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Disitu dengan jelas dibuat aturan bagaimana seharusnya cara warga negara dalam melaksanakan haknya yang merdeka menyampaikan pendapat namun tetap dalam koridor aturan yang lebih santun, tidak mengganggu hak orang lain, tetap dibawah naungan hukum yang ada, serta yang terpenting adalah menjaga keutuhan bangsa. Bukankah dalam menggapai hak diiringi oleh kewajiban yang berjalan berdampingan dengan hak tersebut.
Lalu bagaimanakah warga negara Indonesia menjalankan hak berpendapatnya setelah ada jaminan hukum pasca reformasi. Realita saat ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memang belum cukup dewasa untuk menerapkan kemerdekaan berpendapat yang diberikan oleh negara untuk menjadi jaminan hukum bagi kita semua dalam menyalurkan aspirasi kita secara langsung. Hal ini terbukti dari bagaimana bangsa kita yang telah lama terkungkung dalam pengkerdilan berpendapat pada zaman Orde Baru karena ditekan oleh pemerintah berkuasa pada saat itu, sehingga segala keluhan yang ada dalam kehidupan masyarakat hanya menjadi konsumsi pribadi atau golongannya saja tanpa bisa diketahui oleh dunia luas, seolah kini ingin melampiaskan semua unek-unek yang ada pasca disahkannya aturan yang mengatur kemerdekaan berpendapat dimuka umum tersebut saat ini.
Namun yang disayangkan adalah cara yang dilakukan terkesan justru menghilangkan jati diri bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Bagaimana tidak, orang Indonesia yang terkenal santun dan lebih mengedepankan musyawarah dalam menyelesaikan masalah, kini menjadi lebih sporadis dalam menuntut hak-haknya dalam menjalani kehidupan bernegara.
Kita jarang memikirkan bagaimana hak atau harga diri orang lain yang tergadai akibat cara kita menyampaikan pendapat yang dilakukan diluar norma-norma yang ada. Tidak ada lagi batasan bagi setiap orang yang ingin melakukan aksi dalam konteks menyampaikan pendapatnya dimuka umum. Semua seolah merdeka melakukan apa saja asalkan aspirasi mereka tersampaikan meskipun dilakukan dengan cara-cara yang sangat jauh dari adat ketimuran yang senantiasa dielu-elukan oleh bangsa Indonesia sendiri.
Semua Dianggap Sama
Pemerintah memang merupakan wakil dari rakyat yang merupakan pemegang kedaulatan tertinggi di Republik ini. Presidan, Wakil Presiden, dan semua Anggota MPR baik dari DPR maupun DPD merupakan orang-orang yang dipilih langsung oleh rakyat untuk diamanahkan menjadi wakil mereka dalam menjalankan roda Birokrasi.
Tapi bukan berarti mereka adalah Manusia sempurna yang tidak memiliki kesalahan dalam menjalankan tugasnya dan menyampaikan aspirasi rakyatnya. Mereka juga bukan merupakan orang-orang yang apabila melakukan kesalahan harus ditegur dengan berbagai caci maki dan sumpah serapah dari rakyat yang telah memilih mereka.
Namun yang terjadi saat ini adalah bagaimana bangsa kita senantiasa menyampaikan pendapatnya untuk mengkritisi kinerja oknum pemerintah dengan cara-cara yang kurang etis. Kita paham bahwa pemerintah sering melakukan penyimpangan dan kekeliruan dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga muncul kekesalan dan kekecewaan dari rakyat sehingga menimbulkan rasa ingin mengkritisi kinerja yang mereka lakukan. Tapi kebebasan berpendapat yang dilakukan oleh masyarakat untuk mengkritisi pemerintah tidak jarang disalah artikan sehingga hal-hal yang tidak wajar sering terjadi dalam aksi menyampaikan pendapat yang dilakukan dengan beragam cara.
Kita sering menyaksikan Foto seorang Presiden yang merupakan salah satu simbol negara dibakar dijalanan oleh para pendemonstran. Belum lagi mereka yang tidak paham aturan dalam berpendapat melakukan hal yang sebenarnya menciderai martabat bangsa sendiri, seperti menuliskan inisial Presiden dibadan seekor Kerbau yang mereka bawa. Atau hal yang paling sering adalah hujatan-hujatan kepada Presiden yang dituliskan diatas spanduk atau kertas karton yang senantiasa menemani para pendemo yang ingin menyampaikan pendapat atau keluhannya.
Bukankah hal-hal tersebut menunjukkan bahwa bangsa kita belum cukup dewasa untuk merespon bagaimana cara mengaplikasikan aturan dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tersebut dalam menyampaikan pendapatnya.
Agaknya bangsa kita yang mengaku bangsa berketuhanan, berkemanusiaan, dan menjunjung tinggi moral dalam setiap tindakannya, harus lebih introspeksi diri agar tidak menjadi bangsa yang kehilangan identitasnya yang semakin hari makin terkikis sikap-sikap kesantunannya.
Jika rakyat Indonesia sendiri saja sudah menganggap sama rata semua martabat Pemimpinya, bukan hal yang mustahil jika bangsa lain juga akan mengecilkan martabat para pemimpin kita yang seyogyanya merupakan simbol dari bangsa Indonesia.***


Penulis adalah Kabid PTKP HMI FIS dan Staf Pusham Unimed